JAKARTA – Politisi senior PDIP, Sabam Sirait menggangap hak angket yang digulirkan di DPR terkait pengaktifan kembali Basuki T Purnama alias Ahok sebagai Gubernur DKI berlebihan (overacting). Menurutnya, DPR lebih baik mengalihkan energinya pada hal lain yang justru membawa keuntungan bagi rakyat.
Hal itu diungkapkan Sabam usai menutup seminar yang digelar Yayasan Komunikasi Indonesia (YKI) bertema “Haruskah Kepala Daerah Berstatus Terdakwa Dinonaktifkan? Membedah Pasal 83 UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah Ditinjau dari Hukum Tata Negara, Pidana, dan Administrasi Negara” di Grha Oikumene PGI, Jakarta, Jumat (17/2).
Menurut Sabam, hak angket yang digulirkan di DPR oleh Fraksi Gerindra, PKS dan Demokrat tidak salah karena setiap fraksi-fraksi di DPR memiliki hak untuk mengajukan angket. Namun dia mempertanyakan relevansi hak angket bagi kesejahteraan rakyat sekarang ini.
“Banyak pekerjaan lain yang harus dikerjakan, tetapi itu hak dari fraksi-fraksi asalkan memenuhi syarat AD/ART di DPR. Tetapi apakah relevan dalam situasi sekarang? kalau berguna bagi bangsa dan negara, saya tidak keberatan,” kata Sabam yang juga Ketua Dewan Pembina YKI.
Menurut Sabam, seharusnya DPR fokus mencurahkan energinya dalam memastikan berjalannya pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi.
“Kita sebagai bangsa jangan tergoda pada soal-soal seperti itu. Sebab masih banyak soal yang jauh lebih penting. Misalnya, bagaimana memerangi korupsi dan menjamin pemerintahan ini bersih,” kata Sabam.
Terkait status Ahok, mantan hakim konstitusi Maruarar Siahaan menilai, dalam rezim pemerintahan daerah sekarang ini tidak mudah memberhentikan seorang kepala daerah. Alasannya, kepala daerah sama dengan Presiden yang juga dipilih rakyat. Sedangkan Mendagri hanya mengurusi administratifnya.
Pakar hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Hibnu Nugroho beranggapan, perkara Ahok sangat politis. Hal itu bisa dilihat dari pengajuan hak angket di DPR. Sebab sepatutnya yang mengajukan hak angket adalah DPRD DKI.
Dia mendukung langkah Mendagri yang hati-hati menyikapi proses pemberhentian Ahok dengan menunggu penerapan pasal yang digunakan jaksa untuk menuntut dalam perkara penistaan agama. Bahkan, Hibnu juga mendukung langkah Mahkamah Agung yang terkesan enggan mengeluarkan fatwa.
“Lebih baik menunggu tuntutan, itu lebih baik. Akan konsisten daripada bersandarkan pada pasal yang didakwakan karena menggunakan pasal kumulatif, ada yang ancaman 4 tahun pidana dan paling singkat 5 tahun. Kuncinya justru di jaksa dan hakim,” katanya.
Pakar hukum tata negara dari Universitas HKBP Nommensen, Medan, Budiman Sinaga menyebut, seorang gubernur bisa diberhentikan langsung oleh Presiden berdasarkan asas dekonsentrasi asalkan, kepala daerah itu terbukti melakukan kejahatan.
“Sanksi bagi seorang gubernur jelas ada karena dia menjalankan adminsitrasi negara maka sanksinya adminsitrasi dan jauh lebih sakit diberhentikan ketimbang dipidana. Nampaknya Presiden tidak menemukan perbuatan yang jahat dari yang dilakukan Ahok di Kepulauan Seribu, maka apa urgensinya memberhentikan Ahok selaku wakil pemerintah pusat dalam rangka dekonsentrasi ?” kata Budiman
Editor : Rudiarjo Pangaribuan
Sumber : Suara Pembaruan
Jakarta, November 2024 – INKOP TKBM kembali bekerja sama dengan Port Academy untuk menyelenggarakan Diklat…
Mengapa Anda Tidak Boleh Lewatkan Acara Ini? Ini adalah kesempatan pertama di Indonesia untuk memiliki TCG One…
Layanan SIP Trunk adalah layanan telepon yang dilakukan melalui jaringan internet, layanan SIP Trunk menjadi…
Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) mencatatkan kenaikan tipis sebesar 14 sen, atau 0,2%,…
Musik telah menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari, dan dengan kemajuan teknologi, mendengarkan musik semakin…
BATAM - Kepala Badan Pengusahaan Batam (BP Batam), Muhammad Rudi menerima sekaligus mendengarkan paparan Laporan…
This website uses cookies.