Oleh: Dedi Epriadi, S.Sos. M.Si (Analis Kebijakan Publik & Dosen Universitas Putera Batam)
Deliar Noer dalam Pengantar Pemikiran Politik menyebutkan bahwa ilmu politik memusatkan perhatian pada masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat. Sejumlah ilmuan politik juga memahami bahwa ketika terjadi penurunan kepercayaan (trust) terhadap suatu pemerintahan, bukan hanya disebabkan karena adanya penilaian terhadap cara pemerintah mengelola perekonomian, melainkan juga kemampuan lain seperti cara mengontrol kriminalitas, cara menciptakan rasa aman, dan cara menghindari berbagai skandal. Karena itu, ada atau tidaknya kepercayaan publik akan berkaitan dengan tindakan pengambilan kebijakan oleh pemimpin politik.
Studi-studi yang dilakukan Robert Putnam (1993) dan Charles Andrain (2006), misalnya, telah menjelaskan keterkaitan antara modal sosial dan kepercayaan terhadap pemerintahan. Keterlibatan seseorang di dalam berbagai kegiatan masyarakat (civic activities), termasuk di dalamnya adalah adanya pertemuan dengan pemerintah atau kelompok-kelompok yang berusaha mempengaruhi pemerintah, bisa bermakna kesempatan bagi perubahan-perubahan sosial atau kontrol terhadap proses-proses politik.
Selain itu, adanya keterlibatan warga negara sangat memungkinkan terjadinya interpersonal trust yang menjadi dasar bagi terbangunnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga politik.
Budaya politik dianggap memiliki posisi penting karena mampu mempengaruhi perilaku politik seseorang, termasuk dalam membangun demokrasi. Melalui studinya di lima negara, bahwa budaya politik kewarganegaraan itu sangat cocok bagi bangunan negara demokrasi.
Agar demokrasi berlangsung, nilai harus membaur ke dalam pemahaman diri para warga negaranya. Budaya yang demikian itu memiliki kombinasi yang relatif bagus antara tiga budaya politik: parokial, subjek, dan partisipan.
Dalam pemahaman yang lebih sederhana, budaya politik kewarganegaraan merupakan kombinasi antara karakteristik-karakteristik aktif, rasional, mempunyai informasi yang cukup mengenai politik, kesetiaan pada sistem politik, kepercayaan dan kepatuhan kepada pemerintah, keterkaitan pada keluarga, suku, dan agama.
Namun, patut dicatat bahwa budaya politik tidak lagi dilihat sebagai satu-satunya faktor yang menentukan demokrasi. Budaya politik lebih dilihat sebagai ‘intervening variabel’.
Jika budaya politik dikaitkan erat dengan demokrasi, kita juga harus melihat realitas bahwa budaya politik dalam masyarakat secara garis besar dapat dibedakan dalam tiga budaya politik, yaitu: (1) budaya politik apatis (tak acuh, masa bodoh, pasif); (2) budaya politik mobilisasi (didorong atau sengaja di mobilisasi); dan (3) budaya politik partisipatif (aktif).
Di sisi lain, terjadinya perbedaan budaya politik yang berkembang dalam masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: (a) tingkat pendidikan masyarakat sebagai kunci utama perkembangan budaya politik masyarakat; (b) tingkat ekonomi masyarakat, semakin tinggi tingkat ekonomi/ sejahtera masyarakat, partisipasi masyarakat pun semakin besar; (c) reformasi politik/political will (semangat merevisi dan mengadopsi sistem politik yang lebih baik); (d) supremasi hukum (adanya penegakan hukum yang adil, independen, dan bebas); dan (e) media komunikasi yang indenpenden (berfungsi sebagai kontrol sosial, bebas, dan mandiri).
Suatu pemerintahan dikatakan responsif manakala mengadopsi ‘kebijakan yang mensyaratkan preferensi warganya. Tanda-tanda pilihan kebijakan yang dikehendaki oleh warga itu terlihat dari jajak pendapat, berbagai bentuk tindakan langsung seperti demonstrasi, surat terbuka, dan sejenisnya.
Sementara itu, suatu pemerintahan dikatakan accountable, manakala warga dapat membedakan perwakilan dari pemerintah yang tidak representatif dan mereka mendapat sanksi secara tepat, mempertahankan mereka yang menjabat dengan baik dan mengeluarkan mereka yang bekerja tidak baik.
Dengan demikian budaya politik dapat dirumuskan sebagai pola-pola khusus orientasi tindakan politik yang mendasari semua sistem pemerintahan. Pendekatan budaya politik menegaskan bahwa suatu sistem perlu terlihat absah (legitimate) di depan para warganya agar bisa tetap berlangsung. Tidak ada masyarakat dunia nyata yang dapat berlangsung berdasarkan kalkulasi dan keinginan rasional semata.
Jakarta, November 2024 – INKOP TKBM kembali bekerja sama dengan Port Academy untuk menyelenggarakan Diklat…
Mengapa Anda Tidak Boleh Lewatkan Acara Ini? Ini adalah kesempatan pertama di Indonesia untuk memiliki TCG One…
Layanan SIP Trunk adalah layanan telepon yang dilakukan melalui jaringan internet, layanan SIP Trunk menjadi…
Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) mencatatkan kenaikan tipis sebesar 14 sen, atau 0,2%,…
Musik telah menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari, dan dengan kemajuan teknologi, mendengarkan musik semakin…
BATAM - Kepala Badan Pengusahaan Batam (BP Batam), Muhammad Rudi menerima sekaligus mendengarkan paparan Laporan…
This website uses cookies.