RIAU – Sengketa pengelolaan lahan kelapa sawit antara Koperasi Produsen Petani Sawit Makmur (KOPPSA-M) dan PTPN IV Regional III (dulu PTPN V) memasuki babak baru. Pada tanggal 19 Februari 2025, Kuasa Hukum KOPPSA-M, Herry Supriyadi dari kantor Hukum Armilis Ramaini, melaporkan MT, mantan Ketua KOPPSA-M periode 2013-2016 ke Polda Riau. Laporan ini terkait dengan dugaan pemalsuan dokumen yang merugikan koperasi tersebut.
Tindakan pelaporan ini menjadi sorotan publik, mengingat sengketa yang berlangsung antara KOPPSA-M dan PTPN IV telah melibatkan berbagai aspek hukum dan ekonomi yang kompleks. Kasus ini tak hanya berkaitan dengan pengelolaan lahan kelapa sawit, tetapi juga dengan dugaan manipulasi dokumen yang dapat membawa dampak besar bagi KOPPSA-M dan masyarakat yang terlibat.
Latar Belakang Sengketa
Kuasa Hukum KOPPSA-M, Herry Supriyadi menjelaskan, perjanjian antara PTPN V (sekarang PTPN IV Regional III) dan KOPPSA-M dimulai pada tahun 2002, dengan kesepakatan pengelolaan lahan kelapa sawit seluas 1.650 hektar melalui skema Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA).
Nilai total investasi awal adalah 79 miliar rupiah, yang terdiri dari dana 41 miliar rupiah untuk pembangunan kebun dari PTPN, serta pinjaman dari Bank Agro sebesar Rp38 Miliar. PTPN bertindak sebagai pengelola tunggal kebun sawit tersebut. Namun, setelah lebih dari 25 tahun, hanya sekitar 800 hektar dari lahan yang direncanakan yang berhasil dibangun.
“Tak hanya itu, banyak masalah yang muncul terkait dengan pengelolaan kebun, termasuk masalah banjir yang sering terjadi di sekitar 100 hektar lahan, yang diduga disebabkan oleh kelalaian pihak PTPN sebagai pengelola yang tidak memperhitungkan dengan benar peta aliran air dan potensi banjir di wilayah tersebut,”ujarnya kepada SwaraKepri, Senin 3 Maret 2025.
Dugaan Pengelolaan yang Buruk dan Pemborosan Dana
Dalam analisisnya atas perkara ini, seorang pakar agronomi mengungkapkan bahwa dana yang dikelola untuk pembangunan kebun sawit jauh lebih besar dari yang dibutuhkan.
Dalam hitungan keekonomian pada tahun 1999/2000, untuk membangun kebun sawit seluas 1.650 hektar, hanya dibutuhkan dana maksimal Rp25 Miliar. Namun, dengan pengelolaan yang jauh dari optimal, dana yang tercatat mencapai 79 miliar, tetap saja tidak menghasilkan kebun yang sesuai dengan perjanjian.
Lebih lanjut, pakar perkebunan juga menyoroti masalah banjir yang melanda lahan sawit tersebut. Dikatakan bahwa masalah banjir seharusnya bisa dihindari jika pihak pengelola memperhatikan peta aliran air dan peta banjir yang sudah tersedia.
“Keberadaan peta banjir dan aliran air sudah jelas dan dapat diakses, namun kelalaian PTPN dalam pengelolaan menyebabkan kebun sawit tidak berkembang dengan baik,” ujar salah satu pakar perkebunan yang memantau serius kasus ini.
Jakarta, 27 Februari 2025 - Proyek pembangunan Terminal Kalibaru Tahap 1B di Pelabuhan Tanjung Priok…
Brand parfum lokal asal Jakarta, Onix, kembali menunjukkan inovasinya dengan mengeluarkan parfum baru. Sejak beberapa…
LindungiHutan kembali menggelar webinar Green Skilling edisi ke-14 dengan tajuk "Peran Sertifikasi dalam Mendukung Praktik…
Dalam setiap transaksi jual beli, bukti pembayaran menjadi elemen penting yang tidak boleh diabaikan. Bukti…
Jakarta, 26 Februari 2025 – TP-Link resmi meluncurkan Omada Pro, lini produk enterprise yang dirancang untuk memenuhi…
Industri perhotelan di Indonesia terus menghadapi dinamika yang kompleks. Pada tahun 2025, sektor ini dihadapkan…
This website uses cookies.