Perempuan: Tulang Punggung Ekonomi yang Sering Terabaikan

Bukan Persoalan Mudah

Namun, rekomendasi dari Poppy di atas bukan sesuatu yang mudah diterapkan. Dalam praktik di lapangan, seperti dipaparkan Noer Fauzi Rachman PhD dari Universitas Padjajaran, Bandung, perempuan selalu kesulitan untuk berperan, karena memang tidak diberi kesempatan.

Pada skala desa misalnya, perempuan tidak cukup mampu menyuarakan kepentingannya, sehingga penggunaan Dana Desa yang besar pun tidak memenuhi kebutuhan mereka.

“Kita menghadapi kesulitan, karena Dana Desa ini tidak senantiasa dipakai dengan perencanaan yang memadai, di mana partisipasi yang berarti dari kaum perempuan itu ikut serta di dalamnya,” kata Noer Fauzi.

Kondisi itu bisa dilihat dari bagaimana alokasi anggaran diterapkan di tingkat desa. Dana itu lebih banyak dipakai untuk proyek-proyek infrastruktur skala desa, seperti pembangunan jalan atau balai desa. Sangat kecil anggaran yang khusus diberikan untuk program-program yang terkait perempuan, sehingga pemerintah merasa perlu mengeluarkan arahan khusus terkait hal ini.

Seorang pekerja perempuan memetik biji-biji kopi saat panen di sebuah perkebunan di Desa Ulian, Bali. (Foto: AP)

“Umpamanya penanganan stunting. Itu urusannya sama status gizi ibu hamil dan satus gizi perempuan sebelum dia hamil. Masalah itu tidak pula ditangani dengan pencegahan secara cukup memadai,” lanjut Noer Rachman.

Masalah lain yang juga tidak disentuh oleh dana desa adalah pencegahan perkawian anak. Padahal, untuk menyelesaikan persoalan stunting, salah satu yang harus ditanggulangi adalah kasus pernikahan anak, sebagai pintu gerbang munculnya kasus stunting.

Ketiadaan program-program di desa yang dibiayai Dana Desa untuk kepentingan perempuan ini, menunjukkan bagaimana minimnya peran perempuan dalam pengambilan keputusan di tingkat desa.

Untuk bisa menghadirkan peran perempuan, setidaknya ada tiga prakondisi yang harus diatasi. Pertama adalah ketergantungan budaya, ekonomi, sosial, pendidikan dan ketidaksetaraan kaum perempuan. Kedua, kata Noer Rachman, menghapus norma-norma yang secara sistemik menurunkan derajat perempuan.

“Saya kebetulannya adalah Dewan Pembina Yayasan Perempuan Kepala Keluarga, dan ini berjuang untuk memperoleh satu status bagi keluarga-keluarga yang dipimpin oleh perempuan. Tidak disebut sebagai janda, tetapi disebut sebagai kepala keluarga perempuan atau perempuan kepala keluarga,” urai Noer Rachman.

Prakondisi ketiga yang harus diatasi untuk meningkatkan peran perempuan, adalah ketidakadilan yang dialami perempuan.

Page: 1 2 3

Redaksi - SWARAKEPRI

Recent Posts

Harga Minyak WTI Naik Tipis, Didukung Ketegangan Geopolitik dan Permintaan Tiongkok

Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) mencatatkan kenaikan tipis sebesar 14 sen, atau 0,2%,…

13 jam ago

Ini Dia Pilihan 10 Aplikasi Musik Online Terbaik di 2024

Musik telah menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari, dan dengan kemajuan teknologi, mendengarkan musik semakin…

14 jam ago

Usai Cuti, Kepala BP Batam Dengarkan Laporan Kinerja dari Wakil Kepala BP Batam

BATAM - Kepala Badan Pengusahaan Batam (BP Batam), Muhammad Rudi menerima sekaligus mendengarkan paparan Laporan…

14 jam ago

Tokocrypto dan OCBC Luncurkan Kartu Global Debit Spesial

Jakarta, 19 November 2024 - Berdasarkan data dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), pertumbuhan transaksi…

14 jam ago

Indonesia Blockchain Week 2024: Sukses Gaet Lebih dari 1.700 Peserta

Indonesia Blockchain Week (IBW) 2024 sukses diselenggarakan pada 19 November 2024 di The Ritz-Carlton Pacific…

15 jam ago

BINUS University Jadi Universitas Terbaik Nomor 2 di ASEAN

Jakarta, 20 November 2024 - BINUS UNIVERSITY, sebagai Perguruan Tinggi Indonesia berkelas dunia mengucapkan terima…

15 jam ago

This website uses cookies.