Categories: OPINI

Perlu Pendekatan Baru untuk Meresponi Penyerangan Terhadap Tempat Ibadah

HARI Minggu tanggal 28 Maret 2021 kita dikejutkan lagi oleh serangan bom bunuh diri terhadap suatu tempat ibadah. Kali ini yang menjadi target adalah Gereja Katedral di Makassar. Bagi pengamat yang jeli membaca situasi, berita terbesar sesungguhnya bukanlah bahwa ada gereja yang dijadikan sasaran serangan bom, karena sudah terlalu sering gereja dijadikan target penyerangan oleh para teroris.

Berita terbesar adalah reaksi yang muncul dari para tokoh bangsa ini, yang nadanya sudah bisa ditebak, bahkan sebelum terjadi serangan semacam itu. Semua reaksi hanya bertumpu pada dua kata: mengecam dan mengutuk.

Mengecam dan mengutuk terdengar layak diucapkan, tetapi kepada siapa kecaman dan kutukan itu dialamatkan? Orang yang meledakkan bom bunuh diri itu sudah tewas oleh kebodohannya sendiri. Sekeras apapun kecaman dan kutukan diucapkan, tidaklah mereka rasakan.

Karena itu mengecam dan mengutuk aksi bom bunuh diri di tempat ibadah, termasuk di Gereja Katedral Makassar, tidak membuahkan hasil apa-apa. Bahkan sudah sekian kali kecaman dan kutukan diucapkan, tetap saja serangan terhadap tempat ibadah masih terjadi.

Maka tindakan mengecam dan mengutuk aksi bom bunuh diri seperti itu menjadi rutinitas retorika dan formalitas yang terdengar keras demi menjaga stabilitas, tetapi hasilnya sangat lunak, bahkan tidak berdampak untuk menghentikan aksi biadab semacam itu.

Yang seharusnya dilakukan adalah bukan mengecam-ngecam dan mengutuk-ngutuk aksi bom di tempat ibadah, sebab kata-kata semata tak ada manfaatnya. Yang harus dilakukan adalah mencari akar permasalahannya dan dalang-dalang teror yang dari waktu ke waktu terus mengganggu stabilitas sosial melalui pelbagai macam tindakan penyerangan terhadap tempat ibadah, yaitu tindakan yang bertentangan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

Tindakan para teroris itu bersumber dari pikiran, pemahaman, dan ajaran yang diterimanya, yang membentuk keyakinannya. Mereka berpikir bahwa tindakan semacam itu benar; mereka memahami bahwa perbuatannya itu merupakan kewajiban; dan mereka meyakini bahwa ada upah, hadiah, imbalan, atau manfaat yang akan diperolehnya apabila aksinya itu dijalankan.

Artinya, yang menjadi masalah di sini adalah pikiran, pemahaman, ajaran, dan keyakinan dari para teroris itu, yang meskipun salah dan melanggar hukum, namum tetap saja mereka lakukan. Karena menurut pikiran, pemahaman, ajaran, dan keyakinannya, aksinya itu dibenarkan, diwajibkan, bahkan merupakan perbuatan “terpuji” yang akan diganjar dengan imbalan yang besar.

Sebab hanya orang yang tak waras yang nekad membunuh diri sendiri dengan jalan membom tempat ibadah orang lain; kecuali mereka memiliki pemahaman seperti diuraikan di atas.

Aparat negara sudah sangat gencar menindak para teroris dari waktu ke waktu. Tetapi yang ditindak adalah pelakunya di kawasan hilir, bukan pengajar, perancang, atau penghasutnya di kawasan hulu. Inilah sebabnya maka aksi penyerangan terhadap tempat ibadah selalu saja terjadi.

Maka solusi tuntas terhadap aksi terror semacam ini mestinya dilakukan dengan melakukan penindakan tegas oleh negara terhadap para pengajar, perancang, atau penghasut teror di kawasan hulu.

Aparat kepolisian sesungguhnya sudah memetakan secara jelas tentang keberadaan kelompok-kelompok teroris yang beroperasi di negeri ini, baik yang terafiliasi dengan dan mendapat dukungan dari organisasi-organisasi teroris di luar negeri, maupun kelompok-kelompok yang home-grown.

Kesulitan yang dihadapi aparat kepolisian dalam menindak pelaku terorisme di negeri ini adalah bagaimana caranya berperang melawan pikiran, pemahaman, ajaran, dan keyakinan yang menyesatkan dari para teroris itu.

Detasemen Khusus (Densus) 88 tentu sangat mampu menghabisi para teroris yang muncul ke permukaan, tetapi Densus 88 tidak memiliki kemampuan untuk memerangi pikiran, pemahaman, ajaran, dan keyakinan mereka.

Oleh karena perang melawan terorisme adalah perang melawan pikiran, pemahaman, ajaran, dan keyakinan semacam itu, maka senjata secanggih apapun yang berada di tangan Densus 88 tidak akan efektif untuk memerangi terorisme.

Dibutuhkan senjata lain lagi yang lebih efektif untuk menghabisi terorisme di kawasan hulu, agar aksi-aksi teror di kawasan hilir bisa dihentikan secara tuntas. Dan senjata lain yang lebih efektif itu adalah upaya penyadaran secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) melalui pendidikan dan bimbingan keagamaan yang dilakukan dalam kerangka negara yang berdasarkan Pancasila.

Bimbingan keagamaan secara TSM diperlukan karena hanya pendidikan kerohanian yang dilakukan secara jujur dan bertanggung jawab dalam bingkai negara Pancasila yang dapat tertanam secara mendalam di dalam jiwa, sehingga menjadi keyakinan untuk memandu tingkah-laku seseorang.

Di negeri yang sangat pluralis ini dibutuhkan kejujuran dan keterbukaan untuk setiap pemeluk agama saling menerima dan menghormati perbedaan sebagai bagian dari satu keluarga besar bangsa Indonesia yang bersatu di dalam keragaman, sehingga ketika terjadi suatu peristiwa hal-hal yang mengganggu stabilitas sosial, termasuk penyerangan terhadap tempat ibadah, maka kejujuran dan keterbukaan itu akan memandu kita untuk secara bergotong-royong menemukan solusi terbaik.

Sudah bukan zamannya lagi untuk bersikap defensif atau pun menuding ke kanan-kiri ketika ada tempat ibadah suatu umat dijadikan sasaran aksi teror. Sebab para teroris tidak memilih-milih targetnya. Dan yang menjadi korban terorisme biasanya termasuk warga masyarakat yang sama sekali tak ada kaitannya dengan sasaran yang dituju.

Maka solusi yang saya ajukan, sebagai pendekatan baru untuk memerangi terorisme adalah memeranginya di kawasan hulu; bukan hanya di kawasan hilir. Memerangi pikiran, pemahaman, ajaran, dan hasutan yang sesat, yang menyebabkan warga masyarakat yang kurang cerdas menjadi semakin bodoh sampai membunuh dirinya sendiri dan juga orang lain yang tak bersalah terhadap mereka.

Senjata untuk memerangi pikiran, pemahaman, ajaran, dan hasutan yang menyesatkan itu bukanlah bedil. Senjatanya adalah upaya penyadaran secara TSM seperti diuraikan di atas.

Dengan demikian maka perang melawan terorisme tak bisa hanya dibebankan kepada Densus 88 dan aparat penegak hukum lainnya; ia harus menjadi beban dan tugas semua instansi penyelenggara negara, termasuk perancang dan pelaku kebijakan di bidang pendidikan, keagamaan, perekonomian, dan juga kemasyarakatan, dari tingkat pusat sampai ke daerah-daerah; dan melibatkan segenap komponen bangsa.

Sebab tak elok di mata kita, bahkan di mata dunia internasional yang tengah memantau kita, bahwa di negeri yang dianggap menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan ini ternyata masih saja terjadi penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah.

Penulis: Dr. Richard Pasaribu, Anggota DPD RI (Senator) dari Batam.

Redaksi - SWARAKEPRI

Recent Posts

Nuriswan Tuding Mustaqim CS Dalang Penyebab Gugatan PTPN IV Terhadap KOPPSA-M

BATAM - Ketua Koperasi Produsen Petani Sawit Makmur (KOPPSA-M), Nuriswan menuding Mustaqim CS selaku pengurus…

1 jam ago

Gelar RAT di Pekanbaru, KOPPSA-M Hasilkan 7 Poin Keputusan

RIAU - Koperasi Produsen Petani Sawit Makmur (KOPSA-M) menggelar Rapat Anggota Tahunan(RAT) di Hotel Aryaduta…

2 jam ago

Implementasi Intraday Short Selling di BEI, Peluang dan Tantangan

JAKARTA - Short Selling merupakan transaksi penjualan Efek dengan kondisi Efek tersebut tidak dimiliki oleh…

1 hari ago

Patuhi Instruksi Megawati, Bupati Pelalawan Tak Ikut Retret di Magelang

RIAU - Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri menginstruksikan agar seluruh kepala daerah dan wakil…

1 hari ago

Tanamkan Rasa Cinta Kasih kepada Siswa, Yayasan Kurnia Salam Beri Bantuan ke Panti Asuhan

RIAU - Taman Kanak-kanak dan PAUD Kurnia Salam Kubang Jaya Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar,…

1 hari ago

KAI Kembali Mengimbau Masyarakat Waspada Penipuan Berkedok Rekrutmen

PT Kereta Api Indonesia (Persero) kembali mengingatkan masyarakat untuk terus waspada terhadap segala bentuk penipuan…

1 hari ago

This website uses cookies.