Empat Penyebab Perubahan
Perubahan Suku Bajau juga menjadi perhatian antropolog Universitas Hasanuddin, Makassar, Dr Tasrifin Tahara.
“Bajau sebenarnya sudah berbeda. Bajau dulu dan Bajau sekarang. Kalau dulu, kan identik dengan suku yang tinggal di atas perahu, dengan pemukiman di atas air yang menjorok di atas laut. Pada perkembangannya, Bajau itu sudah mengalami perubahan atau penetrasi, modernisasi,” kata Tasrifin.
Ia berpendapat ada empat faktor yang mendukung perubahan itu. Pertama, kata Tasrifin, adalah faktor ekonomi. Suku Bajau yang totalitas hidupnya ada di atas laut dan memanfaatkan sumber daya laut, menarik minat pedagang komoditas terkait.
Faktor kedua adalah penetrasi politik. Suara warga Bajau mulai diperhitungkan, dan sebaliknya ada warga Bajau yang mampu menjadi aktor politik, bahkan menjadi anggota DPRD. Dalam catatan Tasrifin, setidaknya ini terjadi di Wakatobi, Muna Barat dan Banggai.
Faktor selanjutnya adalah pemukiman, di mana suku Bajau mulai mengurangi migrasi, karena mereka sudah memahami konsep menetap. Sedangkan faktor keempat adalah pendidikan.
“Pendidikan dimanfaatkan putra-putra Bajau dan dijadikan media kesadaran identitas. Tadinya mereka menjadi kelompok terpinggirkan. Dengan pendidikan, mereka mengapus stigma atau stereotip sebagai masyarakat lapis kedua dalam struktur masyarakat di manapun mereka berada,” tambahnya.
Identitas orang Bajau tidak lepas dari banyak mitos yang mengelilingi kehidupan mereka. Ada kisah, bahwa mereka berasal dari Kerajaan Johor di Malaysia. Mitos menyebut, mereka diutus raja mengantarkan putri ke Sulu, Filipina. Di tengah perjalanan, putri raja itu diculik. Akibatnya, tentara kerajaan tidak berani pulang ke Johor, dan memilih untuk berpindah-pindah di atas laut.
“Pemukimannya banyak ditemukan di perairan Sulawesi, Teluk Bone, kemudian di Palopo di Luwuk, kemudian di Sabah, Malaysia dan di Sulu, Filipina,” kata Tasrifin.
Hubungan Suku Bajau dengan orang Bugis atau Buton, di masa lalu tidak sepenuhnya setara, karena sebenarnya orang-orang Bajau ini hanya diberi izin untuk berlabuh. Karena itulah, mereka tetap tinggal di atas laut, dengan pemukiman yang terus berkembang menjadi perkampungan besar. Karena kemampuan orang Bajau dalam menangkap ikan cukup unggul, posisi mereka diperhitungkan.
Saat ini, perubahan juga terjadi dalam cara orang Bajau menerapkan keahlian menangkap ikan. Penggunaan alat tangkap mengubah kearifan orang Bajau. Mereka menangkap ikan dalam jumlah secukupnya saja di masa lalu. Namun, kini bahkan ada beberapa warga Bajau yang mulai membuka keramba ikan. Mereka tidak lagi mengumpulkan ikan, tetapi sudah membudidayakannya, terutama jenis-jenis ikan untuk keperluan ekspor.
Ada sejumlah ciri yang menurut Tasrifin kemungkinan akan mengalami perubahan.
“Prediksi saya, kemungkinan yang pertama ciri tinggal di atas air itu lambat laun akan berkurang,” paparnya.
Ciri lain adalah etnisitas, karena terjadi proses kawin mawin dengan etnis lain, yang juga dikenal sebagai amalgamasi. Perkawinan ini didorong kemampuan Suku Bajau menguasai bahasa di luar sukunya dengan cukup cepat. Selain itu, suku Bajau juga tidak sepenuhnya suku asli Indonesia, karena mereka bisa menjadi orang Filipina, Malaysia, atau Indonesia.
Namun, Indonesia harus merasa memiliki Suku Bajau karena dia adalah salah satu penguat ciri negara maritim atau negara kepulauan.
“Sebenarnya, di luar dari Suku Buton, Mandar, Bugis, Makassar dan Madura, Bajau itu penanda identitas suku bangsa maritim di dunia. Nah, kalau kita kehilangan Bajau, Indonesia tidak punya lagi ciri khas sebuah negara maritim yang besar,” kata Tasrifin.
Negara bisa melakukan intervensi, terlebih dari Indonesia memiliki Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan. UU ini memberi ruang kepada negara agar ciri Bajau sebagai masyarakat maritim, pemilik sah kebudayaan maritim, diinventarisasi dan dikuatkan.
Ciri suku Bajau yang tidak boleh hilang, kata Tasrifin, adalah interaksinya dengan laut. Karena itu, upaya negara dalam mendukung eksistensi suku Bajau, harus dikaitkan dengan kelautan. Jika ciri kelautan ini tidak hilang, Suku Bajau akan mampu mempertahankan kehidupan mereka. Mereka akan tetap tinggal di rumah kayu di atas laut, menyelam dan pergi melaut, dan menerapkan tradisi yang sudah bertahan ratusan tahun itu, tanpa takut dihempas serangan modernisasi.
Di “Avatar: The Way of Water”, klan Na’vi harus melawan manusia dan teknologi modern dalam perang yang nyata. Di lautan Indonesia, Suku Bajau harus berperang dengan modernisasi itu sendiri./VOA