Pakar: Industri Farmasi Tak Mungkin Campurkan Bahan Berbahaya dalam Obat – Laman 2 – SWARAKEPRI.COM
NASIONAL

Pakar: Industri Farmasi Tak Mungkin Campurkan Bahan Berbahaya dalam Obat

Sirup obat batuk yang dikumpulkan di Banjul pada 6 Oktober 2022. Pihak berwenang India sedang menyelidiki sirup obat batuk yang dibuat oleh perusahaan farmasi lokal setelah WHO mengatakan mereka dapat bertanggung jawab atas kematian 66 anak di Gambia. (Foto: AFP/Milan Berckmans)

EG dan DEG sendiri sudah digunakan sejak lama. Di masa lalu, kedua bahan ini menjadi pelarut tambahan, tetapi bukan dalam industri farmasi.

Sejarah mencatat peristiwa keracunan akibat penggunaan dua material itu pernah pula terjadi. Menurut Syaifullah, peristiwa keracunan karena EG atau DEG menghantam Amerika Serikat pada 1937 karena pada saat itu tata cara penggunaan kedua material itu belum ada, sehingga masih digunakan secara bebas.

”Kemudian juga tercatat insiden di China. Pernah terjadi masuk dalam komponen pasta gigi yang murah. Kemudian juga di Eropa, pernah untuk memberi rasa lebih enak pada anggur yang dibuat. Dengan menambahkan EG, rasa anggurnya lebih enak,” papar Syaifullah.

Karena itu, penelitian harus dilakukan lebih mendalam untuk mengetahui faktor yang menyebabkan munculnya EG dan DEG dalam sirop obat yang dikonsumsi anak-anak tersebut. Sejumlah pertanyaan harus dimunculkan, seperti jika bahan bakunya sudah diuji, apakah produk jadi obat diuji juga sebelum dirilis. Bagaimana juga dengan pengujian terhadap bahan tambahan.

Sirup obat batuk yang mengandung dekstrometorfan dipajang di apotek di Edmond, Oklahoma, sebagai ilustrasi. (Foto: AP)

“Ini, siropnya sudah berapa lama beredar? Atau sudah dibuka berapa lama? Apakah pernah dibuka kemudian disimpan kembali?” beber Syaifullah.

Selain itu, tambahnya, harus diselidiki pula bagaimana proses penyimpanan dan pendistribusian produk tersebut.

Panduan Bagi Orangtua

Direktur Sumber Daya Manusia dan Akademik, RSA UGM Ika Puspita Sari Ph.D mengatakan orangtua memegang peranan penting untuk melakukan deteksi awal, apakah anaknya mengalami keracunan EG dan DEG. Pengamatan pertama dilakukan di rumah, dan karena itu kewaspadaan harus ditingkatkan.

“Khususnya jika ada gejala infeksi demam, kemudian ada, diare, muntah, sesak, batuk pilek. Kemudian yang penting, kalau dia sepertinya kondisinya normal, apakah ada indikasi rawat atau tidak, salah satunya adalah kalau ada ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas ), kemudian ada volume urine berkurang,” papar Ika.

Jika ada indikasi perlu perawatan, petugas kesehatan akan melakukan pemeriksaan ureum dan kreatinin. Jika ternyata tinggi, keputusan untuk melakukan perawatan di rumah sakit akan langsung diberikan. Jikapun tidak dirawat di RS, orangtua akan diminta untuk memantau volume urine di rumah. Pemantauan setidaknya dilakukan selama 12 atau 24 jam.

Karena harus dipantau ketat, dalam kondisi ini Ika meminta orang tua tidak memakaikan popok sekali pakai ke anak.

“Kalau yang agak sulit sekarang memakai diapers. Dalam kondisi sedang sakit, jangan dipakaikan dulu, karena harus tahu kira-kira dia urinasi atau enggak,” ujarnya.

Tanpa pemakaian popok sekali pakai, menurut Ika, orangtua akan lebih mudah memantau apakah anak buang air kecil atau tidak selama selama periode 12 jam.

“Sekarang orangtua sudah keenakan dengan menggunakan diapers, sehingga tidak perhatian dengan kejadian itu. Sekarang mestinya kita ingatkan kembali,” tegasnya.

Laman: 1 2 3

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Independen dan Terpercaya

PT SWARA KEPRI MEDIA 2023

To Top