“Salah satu langkah yang harus diambil, adalah pembentukan task force ASEAN untuk perlindungan pekerja migran, pencegahan dan penanganan human trafficking,” ujarnya kepada VOA.
Gabriel menggarisbawahi langkah ini penting, karena perdagangan manusia adalah kejahatan luar biasa dan lintas negara.
Ada sejumlah langkah taktis yang direkomendasikan Gabriel. Pertama adalah penindakan yang lebih tegas bagi aktor intelektual, dan bukan hanya operator lapangan. Aktor intelektual, bisa saja berada di negara yang berbeda, dengan peristiwa perdagangan manusia itu sendiri. Karena itu, kerja ASEAN harus meliputi penindakan kepada aktor utama, di negara di mana dia memimpin operasinya.
Kedua, adalah perlindungan terhadap korban dan kesempatan sebagai justice collaborator bagi pelaku lapangan. Menempatkan pelaku lapangan yang ditangkap sebagai justice collaborator penting agar mereka mau dan mampu mengungkap dalang di balik jaringan yang ada.
“Kerja sama ASEAN sangat dibutuhkan, tidak hanya di mulut tapi juga harus mewujud nyata di dalam aksi konkret. Kalau berhasil, ASEAN bisa menjadi pilot program,” tambah Gabriel.
Langkah konkret ketiga adalah melindungi korban perdagangan orang, yang saat ini sudah berada di negara-negara tujuan. Misalnya, korban TPPO asal Indonesia yang kini berada di Malaysia sebagai pekerja ilegal harus diberi kesempatan untuk mengurus dokumen secara prosedural. Tujuannya adalah agar para korban ini menjadi pekerja legal di negara tujuan.
“Supaya mereka bisa memperoleh pemenuhan atas berbagai hak, seperti kesehatan, hak pendidikan, juga hak atas mata pencaharian wajar,” tambahnya.
Tak Semua Deklarasi Berlanjut
Dalam diskusi FMB 9, pembicara yang lain, Rolliansyah Soemirat, Direktur Polkam ASEAN, Kementerian Luar Negeri mengakui sudah ada banyak komitmen tingkat ASEAN yang perlu diikuti oleh aturan turunan, baik di tingkat nasional maupun regional.
“Misalnya, kalau kita bicara masalah perdagangan orang, TPPO, itukan sebenarnya ASEAN sendiri sudah punya konvensi ACTIP, ASEAN Convention Against Trafficking in Persons dari 2015. Itu sudah ada turunannya, work plan di tingkat regional, kerja sama penanganan trafficking in persons,” kata Rolliansyah.
Karena itu, Rolliansyah menyebut bahwa deklarasi adalah satu hal, dan upaya kolektif ASEAN untuk menurunkannya dalam tataran praktik, adalah hal yang berbeda.
Dia juga mengakui, bahwa jika Indonesia harus menuntut negara anggota ASEAN untuk berbenah dalam isu ini, maka pekerjaan rumah di dalam negeri harus diselesaikan terlebih dahulu.
“Kita akan mendorong negara-negara lain untuk mengedepankan political will-nya, untuk mengimplementasikan semua deklarasi, konvensi, keputusan, yang sudah ada sebelumnya,” lanjut Rolliansyah.
Dalam kasus Deklarasi Cebu untuk perlindungan pekerja migran, misalnya, Rolliansyah menyebut bahwa kesepakatan itu sudah turun dalam bentuk konsensus di ASEAN. Sayangnya, tidak ada tindak lanjut agar deklarasi terwujud dalam ASEAN Convention karena gagal disepakati dalam beberapa isu.
“Tapi, paling tidak ada ASEAN Consensus tentang perlindungan pekerja migran,” lanjut Rolliansyah.
Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) mencatatkan kenaikan tipis sebesar 14 sen, atau 0,2%,…
Musik telah menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari, dan dengan kemajuan teknologi, mendengarkan musik semakin…
BATAM - Kepala Badan Pengusahaan Batam (BP Batam), Muhammad Rudi menerima sekaligus mendengarkan paparan Laporan…
Jakarta, 19 November 2024 - Berdasarkan data dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), pertumbuhan transaksi…
Indonesia Blockchain Week (IBW) 2024 sukses diselenggarakan pada 19 November 2024 di The Ritz-Carlton Pacific…
Jakarta, 20 November 2024 - BINUS UNIVERSITY, sebagai Perguruan Tinggi Indonesia berkelas dunia mengucapkan terima…
This website uses cookies.