Hanif mengatakan keluarganya kabur dari Myanmar ke Malaysia pada tahun 1982 karena ayahnya diburu oleh para preman di sana yang meminta orangtuanya menyerahkan sebidang tanah.
“Bapak saya tidak memberikan dan akhirnya melawan,” ujarnya, “saat itu ayah saya disiksa, dan tanahnya dirampas oleh orang-orang para preman Budha.”
Di Malaysia, Hanif mengaku harus hidup terlunta-lunta tanpa memiliki uang.
Di Indonesia, Hanif dan istrinya, Halizah mempunyai tiga orang anak, yang paling tua berumur 9 tahun dan paling kecil 3 tahun.
Hanif mengaku mendapatkan bantuan dari lembaga PBB untuk migran (IOM) Rp4 juta per bulan.
“Tapi dengan uang segitu, kami sangat kekurangan. Kebutuhan bayi tidak cukup Rp500 ribu perbulan,” terangnya.
Kondisi keluarganya semakin sulit saat pandemi COVID-19 melanda karena harga kebutuhan pokok semakin tinggi.
“Sebelum COVID-19, tetangga-tetangga di Indonesia memang baik sekali, kalau mereka tahu kami kekurangan, mereka bawa makanan, misalnya beras. Setelah COVID-19 mereka juga sudah susah.”
Hanif bermimpi untuk bisa pergi ke Amerika Serikat demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan berkumpul dengan sejumlah keluarganya yang telah lebih dahulu berada di sana.
Sejak penyerangan brutal yang dilakukan oleh pasukan keamanan Myanmar di negara bagian Rakhine pada tahun 25 Agustus 2017, sekitar 740.000 Rohingya melarikan diri dan tinggal di kamp pengungsian di dan sekitar Cox’s Bazar di Bangladesh.
Hal serupa juga dialami Abu Sayyid, 34, pengungsi Rohingya lainnya yang tinggal berdekatan dengan Muhammad Hanif.
Dia mengaku uang bantuan IOM itu hanya cukup untuk 19 hari. Sisanya dia terpaksa berhutang ke tetangga.
“Itu pun tidak selalu dipinjamkan. Mungkin sebagai orang dewasa saya bisa tahan, tapi anak-anak tidak bisa,” ujar ayah tiga anak ini kepada BenarNews.