Polemik Partai Prima: Bidak Catur Penundaan Pemilu?

JAKARTA – Pakar hukum tata negara menyebut solusi bagi polemik Partai Prima sebenarnya sederhana, yaitu mengabaikan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Berlarut-larutnya persoalan ini justru menimbulkan kekhawatiran terkait isu upaya penundaan pemilu.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) seharusnya mengabaikan keputusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada 2 Maret terkait gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima). Langkah pengabaian itu dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum tertinggi.

Namun, kedua lembaga justru mengikuti irama permainan Partai Prima yang melahirkan verifikasi susulan sebagai syarat keikutsertaan partai ini dalam Pemilu 2024.

Padahal, kata anggota tim pakar Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Allan Fatchan Gani Wardhana, jalan keluar polemik ini sederhana.

Pakar hukum sekaligus Direktur PSHK, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Allan Fatchan Gani Wardhana. (Foto: Dok Pribadi)

“Jadi itu simple saja sebenarnya, yang bikin lama adalah kepentingan-kepentingan di balik ini. Kita enggak bisa memisahkannya dari rangkaian-rangkaian sebelumnya yang mengusulkan adanya penundaan dan lain sebagainya,” kata Allan kepada VOA, Selasa (4/4).

Partai Prima diuntungkan atas putusan PN Jakarta Pusat. Pada 14 Oktober 2022, partai ini dinyatakan gagal lolos verifikasi administrasi oleh KPU, dan tidak diikutkan dalam tahapan selanjutnya. Pada 8 Desember 2022, Partai Prima mengajukan gugatan perdata ke PN Jakarta Pusat, dan secara mengejutkan dikabulkan dalam putusan pada 2 Maret 2023.

Pada poin kelima, hakim bahkan menyatakan menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan diucapkan, dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal, selama lebih kurang dua tahun empat bulan tujuh hari. Putusan ini bermakna, tahapan pemilu diulang dari awal dan jadwal pencoblosan bisa saja tertunda.

Komitmen KPU-Bawaslu Dipertanyakan

Allan mempertanyakan alasan apa yang dimiliki DPR, penyelenggara pemilu dan pemerintah, sehingga terlihat ragu meneruskan tahapan pemilu tanpa terganggu. Hanya dibutuhkan komitmen, kata dia.

Petugas membubuhi tinta biru pada jari usai mencoblos saat Pilkada di Tangerang, 9 Desember 2020. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

“Masalahnya, punya komitmen dan mau serius atau enggak, itu saja. Sebenarnya yang bikin rumit itu karena mungkin ada kepentingan itu. Kalau, secara hukum sebenarnya sudah sangat jelas. Konstitusi sudah menjamin,” tegas pakar hukum tata negara ini.

Jika KPU dan Bawaslu tunduk pada putusan PN Jakarta Pusat, dari sudut pandang hukum justru itu sesat pikir dan sesat dalam berhukum. Alasan utamanya, pengadilan negeri tidak punya kewenangan apapun terkait pemilu. Ketika PN memutuskan perkara pemilu, dan kemudian ditaati, justru menjadi persoalan besar. Pemilu tunduk pada pasal 22 E UUD 1945 dan UU Pemilu.

Allan punya sejumlah alasan mengapa KPU dan Bawaslu seharusnya mengabaikan putusan PN Jakarta Pusat. Pertama, konstitusi adalah hukum tertinggi, dan karena itu seluruh undang-undang, peraturan, termasuk pengadilan harus taat kepada konstitusi.

Konstitusi sudah memastikan pemilu setiap lima tahun, sehingga keputusan PN Jakarta Pusat yang memerintahkan pengulangan tahapan pemilu selama 2 tahun 4 bulan ke depan harus diabaikan.

Alasan kedua adalah karena jelas PN Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan, tidak memiliki kompetensi absolut mengadili perkara pemilu.

“Sehingga KPU dan Bawaslu tidak perlu tunduk pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. KPU dan Bawaslu cukup konsisten saja menjalankan konstitusi dan UU Pemilu,” tambah Allan.

Seorang petugas pemilu membantu seorang perempuan lanjut usia untuk menandai jarinya dengan tinta setelah memberikan suaranya pada Pilkada di Tangerang, Banten, 27 Juni 2018. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Ketiga, dari sudut pandang administrasi negara, putusan yang keluar bukan karena ranah kewenangan dianggap tidak pernah ada. Alasan keempat, pemilu merupakan hukum publik, sedangkan kasus di PN Jakarta Pusat kasus perdata hukum privat. Perkara persidangan privat, tidak bisa memutus untuk perkara publik.

Page: 1 2 3

Redaksi - SWARAKEPRI

Recent Posts

Kriptopedia: Media Digital Baru yang Mengupas Dunia Kripto dan Blockchain untuk Indonesia

Dunia kripto dan blockchain terus berkembang pesat, namun masih banyak masyarakat Indonesia yang merasa tertinggal…

2 jam ago

Uni-Charm Pet Indonesia Perkenalkan Produk Camilan dan Sanitasi Lewat Acara “Kiwi British Cat Fan Meowting”

Jakarta, 14 Juni 2025 – PT Uni-Charm Indonesia Tbk., (selanjutnya disebut “Unicharm”) melalui lini bisnisnya…

3 jam ago

Komunikasi Bukan Sekadar Bicara: Yayasan Pusaka Hadirkan Sesi Transformasi Komunikasi untuk Karyawan KAI

Yayasan Pusaka PT Kereta Api Indonesia (Persero) menyelenggarakan sesi berbagi inspiratif bertajuk “Check Your Communication…

3 jam ago

Sang Skutik Legendaris Yamaha Mio Hadir Kembali Dengan Pilihan Warna Baru yang Kekinian dan Sporty

Jakarta – Perkembangan tren mobilitas dan gaya hidup di kalangan muda yang terus berubah tentu…

3 jam ago

Soft Opening Master Baker Indonesia: Sekolah Baking Profesional Baru di Surabaya Barat

Dunia kuliner terus berkembang dan kebutuhan akan sumber daya manusia (SDM) yang terampil di bidang…

7 jam ago

KAI Properti Bangun Kantor Depo Lokomotif Semarang Poncol yang Lebih Modern dan Representatif

KAI Properti, anak usaha dari PT Kereta Api Indonesia (Persero), kembali menunjukkan komitmennya dalam membangun…

8 jam ago

This website uses cookies.