Salah Paham Pasal Zina dan ‘Kumpul Kebo’ di KUHP – Laman 2 – SWARAKEPRI.COM
HUKUM

Salah Paham Pasal Zina dan ‘Kumpul Kebo’ di KUHP

Tand peringatan yang dipasang oleh penduduk desa di sebuah pantai di Banda Aceh 12 Desember 2012, sebagai ilustrasi. Terdapat sejumlah pasal dalam KUHP baru yang terus menjadi kontroversi, antara lain zina dan kumpul kebo. (Foto: Reuters/Damir Sagolj)

Delik Aduan Absolut

Secara detil, Budi Suhariyanto, peneliti Pusat Riset Hukum, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), memaparkan tentang delik aduan absolut dalam diskusi pro-kontra KUHP yang diselenggarakan BRIN, Selasa (13/12).

“Delik aduan absolut, yaitu yang bisa menuntut itu adalah pihak suami atau istri yang dirugikan atau dipermalukan, bagi yang memiliki ikatan perkawinan, dan dari orang tua atau anaknya, bagi yang tidak memiliki ikatan perkawinan,” kata Budi.

Artinya, sebenarnya tidak ada perubahan fundamental dalam soal persetubuhan di luar pernikahan, antara KUHP lama dan baru. Sebagaimana Syarif, Budi menilai pemerintah dan DPR mencari jalan tengah, antara budaya lokal dan prinsip yang berkembang di masyarakat.

“Ini memang, katakanlah tidak terlalu ke kanan, dalam perspektif keagamaan, tetapi kemudian juga tidak terlalu ke kiri, yang bersifat misalnya liberal, yang hanya melihat sebagai privasi dan negara tidak mencampuri. Tetapi kemudian, ini dicari jalan tengahnya,” tambah Budi.

Perzinahan dalam KUHP diatur dalam pasal Pasal 411, yang berbunyi setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.

Ketetapan serupa juga terdapat pada pasal 412 yang mengatur soal kumpul kebo atau kohabitasi. Bunyinya adalah: setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

Menurut Budi, kumpul kebo sebelumnya belum diatur dan baru ada pada KUHP baru ini. Kehadirannya adalah untuk menyerap realitas sosial, budaya dan keagamaan yang ada di masyarakat Indonesia.

Bambang Wuryanto, Ketua Komisi Pembina RUU DPR, menyerahkan laporan KUHP baru itu kepada Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR, dalam rapat paripurna DPR di Jakarta, 6 Desember 2022. (Foto: REUTERS /Willy Kurniawan)

“Jadi yang yang selama ini mungkin ketika kita di kampung, menggolongkan hidup bersama tanpa ikatan perkawinan itu sebagai suatu hal yang katakanlah tidak tepat atau tercela. Nah kemudian, dalam KUHP baru ini coba mengkriminalisasi,” paparnya.

Di sejumlah masyarakat hukum adat, ketentuan semacam ini sebenarnya telah ada. Budi memberi contoh, di Bali ada yang disebut lokika sanggraha. Ia mengatakan ketentuan soal larangan hidup bersama tanpa perkawinan ini, bahkan beberapa kali menjadi dasar pengambilan keputusan oleh pengadilan setempat. Budi sendiri sebelumnya pernah melakukan penelitian terkait hal tersebut.

KUHP menetapkan perzinahan dan kumpul kebo sebagai delik aduan absolut, melalui ketentuan yang mengiringi pasal-pasal di atas.

Bunyi ketentuan itu adalah: terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan atau orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan. Pengaduan juga dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

Wisatawan di Bali. Masyarakat adat Bali menerapkan ‘Lokika Sanggraha’, sebuah delik adat kesusilaan yang termaktub dalam Kitab Adhigama. (Foto: Courtesy/Kemenparekraf)

Lokika Sanggraha di Bali

Lokika Sanggraha yang dicontohkan Budi di atas, memang berlaku di masyarakat adat Bali. Dalam disertasi program doktor di Universitas Jembrana, dosen Universitas Dwijendra, Ni Made Liana Dewi membahas persoalan ini.

Lokika Sanggraha, papar Dewi, adalah delik adat kesusilaan di masyarakat adat Bali yang termaktub dalam Kitab Adhigama. Lokika Sanggraha adalah hubungan percintaan seorang laki-laki dengan seorang perempuan, di mana keduanya belum terikat suatu perkawinan yang sah, menurut hukum nasional maupun hukum adat.

Dewi memaparkan perempuan berada dalam posisi yang lemah dalam kasus Lokika Sanggraha lemah. Perempuan juga menjadi pihak yang menanggung penderitaan. Jika terjadi kehamilan, bisa saja pihak laki-laki yang awalnya berjanji menikahi perempuan itu kemudian ingkar, dan meninggalkanmya tanpa alasan.

Dalam sejumlah kasus di mana ingkar janji ini masuk ke pengadilan negara, keputusan hakim dinilai tidak adil bagi perempuan karena hukuman yang diberikan sangat ringan.

Kedaulatan Negara

Menkum HAM Yasonna Hamonangan Laoly dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR, Selasa (13/12), Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Yasonna Hamonangan Laoly juga menyinggung persoalan tersebut.

“Ini adalah kedaulatan negara, hukum kita. Orang lain tidak boleh memaksakan sistem nilai mereka dalam hukum kita. Soal liberalisme seksual, saya katakan kita punya hukum adat. Kita mempunyai nilai-nilai agama, kita punya ini,” tegas Yasonna.

“Tapi kita juga membuka ruang, kepada orang-orang yang punya values yang berbeda, kita buat aturan bahwa ya memang dia delik aduan saja,” tambahnya.

Secara budaya, kata Yasonna, masyarakat Indonesia tidak bisa menerima kumpul kebo

“Karena tidak hanya orang tuanya yang malu, masyarakat adatnya juga malu, saudaranya malu,” kata dia beralasan.

Menurut Yasonna, pihak-pihak yang memperdebatkan pasal perzinahan dan kumpul kebo, tidak memahami dialog yang terjadi DPR sepanjang penyusunannnya.

“Raison d’etre-nya, rasionalnya, asbabun nuzul-nya itu enggak dapat,” ujarnya./VOA

Laman: 1 2

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Independen dan Terpercaya

PT SWARA KEPRI MEDIA 2023

To Top