Categories: HUKUMVoice Of America

Salah Paham Pasal Zina dan ‘Kumpul Kebo’ di KUHP

Ada sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang terus menjadi kontroversi, antara lain zina dan kohabitasi atau dalam istilah lokal disebut ‘kumpul kebo’. Padahal, pasal ini adalah delik aduan yang tidak akan menjadi perkara hukum jika tidak dilaporkan pihak yang berhak.

Banyak pihak khawatir, pasal perzinahan dan kohabitasi menyeret dengan mudah banyak orang ke penjara. Turis asing hingga sektor perhotelan diklaim berada dalam ancaman cukup besar. Sejumlah duta besar, hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ikut berkomentar terkait hal ini.

Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Syarif Nurhidayat, menyebut seharusnya tidak perlu muncul kekhawatiran berlebihan terkait pasal ini. Ia berpendapat pemerintah dan DPR merumuskan kedua pasal tersebut sebagai sebuah kompromi atau jalan tengah bagi kondisi Indonesia dan posisinya dalam masyarakat global. Bentuknya, dengan menetapkan perbuatan zina dan ‘kumpul kebo’ sebagai delik aduan absolut.

“Indonesia negara dengan kultur yang sangat ketimuran dan religius, sehingga keberadaan norma itu menurut saya normal, harus diatur terkait dengan perzinahan dan kohabitasi,” ujarnya ketika dihubungi VOA, Rabu (14/12).

Seorang aktivis dalam protes setelah DPR menyetujui undang-undang pidana baru yang akan melarang seks di luar nikah, kumpul kebo antara pasangan yang belum menikah, menghina presiden, dan mengungkapkan pandangan yang bertentangan dengan ideologi nasional,

“Cuma, karena kita berada di dalam ruang masyarakat global yang secara perspektif kacamatanya sangat plural, maka ini menjadi tantangan. Akhirnya kan keberadaan pasal kohabitasi dan perzinahan itu kan perlu dikompromikan,” tambahnya.

Dua kepentingan itu, yaitu akomodasi terhadap ideologi dan kepentingan sosial masyarakat Indonesia di satu sisi dan perspektif universal di sisi lain, harus dicari jalan tengahnya.

Secara universal, ada pandangan bahwa hak asasi manusia bersifat liberal sehingga hal-hal terkait perzinahan dan kohabitasi adalah hak personal, dan tidak perlu diintervensi negara.

Sementara dalam situasi masyarakat Indonesia, dua tindakan itu terkait dengan norma yang harus dipertahankan dan diatur.

Seorang petugas agama mencambuk seorang pemuda Aceh di atas panggung sebagai hukuman karena berkencan di luar nikah, yang bertentangan dengan Syariah, atau hukum Islam, di luar sebuah masjid di Banda Aceh, 1 Agustus 2016. (Foto: AFP)

“Maka, diaturlah kemudian dengan bentuk aduan absolut. Nah ini, kalau bagi teman-teman aktivis religi, ini masalah. Karena mestinya bukan aduan absolut, mestinya delik biasa. Tetapi, bagi teman-teman yang cara berpikirnya “liberal”, akan mengatakan ini juga permasalahan,” jelas Syarif.

Kelompok religi mempermasalahkan pasal ini karena pemerintah dianggap tidak tegas dalam menghadapi masalah zina dan kumpul kebo. Sementara kelompok yang lebih liberal mengkritik pasal ini karena pemerintah dinilai telah mengkriminalisasi persoalan pribadi.

Aduan absolut menjadi jalan tengah, karena perzinahan atau kohabitasi hanya bisa diadukan oleh pihak yang berhak, misalnya suami atau istri dalam perkawinan atau anak dan orang tua jika pelaku tidak dalam perkawinan.

Jalan tengah ini dampaknya juga luas. Syarif menjelaskan, karena menjadi delik aduan absolut, pemerintah daerah tidak boleh membuat peraturan daerah (perda) yang membuka ruang adanya razia praktik perzinahan atau kohabitasi karena Itu bukan lagi wilayah delik biasa.

Demikian juga, organisasi-organisasi keagamaan tidak bisa melakukan operasi di hotel atau penginapan, dengan alasan memberantas zina, jika tidak ada aduan dari mereka yang berhak.

“Memang tidak mudah, kita bikin norma yang mengakomodir semua kepentingan masyarakat yang ada. Ketika masyarakat kita sendiri sangat beragam, ada yang sangat religius, ada yang nasionalis, bahkan mungkin tanpa kita sadari sudah cukup banyak yang punya pemikiran cukup liberal,” tambah Syarif.

Karena itulah, keberadaan norma yang mengatur keseluruhan hidup masyarakat seperti KUHP ini, harus penuh perhitungan, detail dan kompromistis.

Seorang aktivis meneriakkan slogan-slogan saat protes pengesahan KUHP yang melarang seks di luar nikah, kumpul kebo di antara pasangan yang belum menikah, menghina presiden, dan mengungkapkan pandangan yang bertentangan dengan ideologi nasional, di luar gedung DPR di Jakarta, Desember 5 Tahun 2022. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Page: 1 2

Redaksi - SWARAKEPRI

Recent Posts

PT Dua Samudera Perkasa Sukses Selenggarakan Diklat Mooring Unmooring dengan Port Academy

PT Dua Samudera Perkasa dengan bangga menggelar Diklat Mooring Unmooring bersertifikasi BNSP bekerja sama dengan…

2 jam ago

Maxy Academy Hadirkan Pelatihan “Digital Marketing 101” untuk Persiapkan Ahli Pemasaran Digital Masa Depan

Maxy Academy mengumumkan pelatihan terbaru bertajuk "Digital Marketing 101: Sosial Media Marketing (Daring)", yang dirancang…

3 jam ago

Halo Robotics Sukses Gelar Drone Talks @ The Mulia, Dorong Inovasi Keamanan dengan Otomasi & AI

Halo Robotics dengan bangga mengumumkan kesuksesan acara Drone Talks @ The Mulia yang diselenggarakan pada…

8 jam ago

Jelang Keputusan The Fed: Bitcoin Melonjak Hampir USD $60.000 Lagi

Harga Bitcoin kembali mengalami koreksi dan turun di bawah USD $60 ribu, menjelang keputusan suku bunga…

9 jam ago

BARDI Smart Home: Dari Garasi ke 4 Juta Pengguna – Apa Rahasianya?

Ketika banyak perusahaan lokal berjuang untuk bertahan hidup di tengah krisis pandemi, BARDI Smart Home…

10 jam ago

Elnusa Petrofin Kembali Gelar Program CSR ASIAP untuk Kurangi Sampah Laut di Desa Serangan, Bali

BALI - Permasalahan lingkungan akibat sampah plastik masih menjadi tantangan serius bagi kelestarian ekosistem laut…

16 jam ago

This website uses cookies.