BATAM – Problematika Pekerja Migran Indonesia (PMI) dari tahun ke tahun tak pernah kunjung usai. Upaya-upaya pencegahan, penanggulangan dan penanganan masalah PMI bukan tak dilakukan. Namun bekerja di luar negeri dengan hasil yang menjanjikan masih menjadi magnet kuat bagi masyarakat Indonesia untuk mengadu nasib demi meningkatkan taraf hidup. Tak peduli apakah itu dilakukan secara resmi sesuai ketentuan perundang-undangan maupun un-prosedural dan bahkan lewat jalur belakang.
Problematika PMI ini diangkat dalam sebuah Sarasehan Kemanusiaan oleh organisasi pemuda lintas iman Batam, yaitu Gazebo Toleransi. Acara yang diselenggarakan dalam rangka peringatan haul Gus Dur ke 13 itu mengangkat tema Probelmatika Pekerja Migran Indonesia di Kota Batam, Minggu (26/2/2023) malam di Pesantren Sirrul Ilahiyah, Tembesi.
Letaknya diperbatasan menjadikan Batam sebagai salah satu kota transit dan pintu keluar bagi para PMI ke luar negeri. Sering kali kasus-kasus kematian akibat kecelakaan laut dialami para PMI ilegal yang hendak berangkat ke Malaysia maupun pulang ke Indonesia lewat jalur belakang.
Modus berangkat melalui pelabuhan resmi untuk bekerja di luar negeri dengan hanya berbekal paspor dan tanpa surat izin kerja juga banyak ditemukan di Batam. Termasuk juga penangkapan-penangkapan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dipenampungan para calon PMI yang akan dikirim secara un-prosedural di kota Batam.
Kepala Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Kombes Pol Amingga M Primastito dalam sarasehan kemanusiaan tersebut mengakui tentang banyaknya problem PMI di Kepri khususnya kota Batam.
Menurutnya, masalah PMI ini tidak bisa hanya diselesaikan di Batam saja. Namun penyelesaian masalah PMI harus juga dilakukan di daerah-daerah hulu atau daerah kantong. Seperti di NTT, NTB, Madura, Jawa dan juga Sumatera.
“Kalau pemerintah mau bisa saja semua pelabuhan di Batam ini ditutup sehingga tidak ada PMI yang berangkat melalui Batam. Tapi jika Batam ditutup, mereka (PMI) akan berpindah jalur melalui Kalimantan dan wilayah Sumatera yang lain,” ungkapnya.
Alasan utama yang mendorong para PMI ini adalah masalah kesejahteraan. Seperti nilai mata uang asing yang lebih tinggi dan ketersediaan lapangan pekerjaan di luar negeri. Karena kesejahteraan ekonomi ini sejalan dengan peningkatan strata sosial di masyarakat.
Terjadinya problem-problem PMI sendiri tak lepas dari keinginan instan dan cepat bekerja di luar negeri daripada harus melalui jalur resmi pemerintah. Ini satu contoh yang kemudian dijadikan peluang oleh oknum-oknum tertentu untuk memanfaatkan situasi dan meraup keuntungan.
“Banyak dari PMI kita itu inginnya cepat bekerja di luar negeri dan enggan untuk mengikuti proses yang disediakan pemerintah. Akhirnya hanya bermodal paspor saja saat bekerja di luar. Secara peraturan ini kan sudah salah,” terang Amingga.
Salah satunya adalah model passing. Menurut Amingga, passing ini budaya bekerja yang salah.
“Secara prosedur mereka itu tidak memiliki izin kerja. Padahal untuk bekerja di luar negeri harus memiliki izin kerja. Sehingga mereka hanya sebagai pelancong dan sebelum masa tinggal habis harus ke luar dari negara tersebut,” ujar dia.
Selama Januari hingga Februari 2023 ini setidaknya sudah ada 400 an orang yang menjadi korban PMI di Batam. Data ini meningkat tajam jika dibandingkan dengan data tahun-tahun sebelumnya.
Menurut Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Ansor Kota Batam, Effendi Sekedang, data dari Kepolisian daerah Kepulauan Riau (Polda Kepri), selama 2021 tercatat ada 150 korban. Jumlah itu meningkat tajam pada 2022 yang bertambah menjadi 400 korban.
Selain mengupayakan perlindungan korban, Effendi juga menyoroti belum adanya undang-undang yang memberikan perlindungan terhadap aktivis human trafficking dan buruh migran.
“Selain melindungi para korban, saya kira kita perlu memiliki peraturan untuk perlindungan terhadap aktivis migran juga,” kata dia.
Ketua DPRD Kota Batam, Nuryanto, dalam persoalan migran ini mengemukakan bahwa Batam sebagai kota transit mengakibatkan banyaknya masalah PMI yang timbul.
Bagaimana tidak, para PMI ini berasal dari daerah luar dan hanya transit. Namun jika mereka bermasalah maka Kota Batam harus ikut campur penyelesaiannya.
“Kalau kita egois bisa saja kita gak mau tahu soal korban-korban migran ini. Tapi kan tidak mungkin. Sebagai sesama anak bangsa dan atas nama kemanusiaan kita juga harus ikut serta membantu para korban,” ungkap dia.
Dalam kesempatan sarasehan kemanusiaan tersebut Nuryanto mengajak kepada para aktivis dan penggiat PMI untuk duduk bersama membicarakan masalah PMI dengan DPRD Batam. Tujuannya agar Batam memiliki kebijakan dalam penanganan masalah PMI.
“DPRD siap menerima masukan dan kritikan masyarakat. Masalah PMI ini akan kita apakan?,” ujarnya.
Bisa saja dilakukan dengan merevisi atau membuat peraturan daerah (Perda) baru terkait masalah PMI.
Irwan Setiawan pengurus Yayasan Embun Pelangi sebagai salah satu yayasan yang menyediakan selter korban PMI khususnya korban perempuan dan anak-anak mengatakan bahwa masalah PMI adalah persoalan “kemanusiaan” bersama.
Banyaknya korban PMI yang ditampung di Batam jelas memerlukan penanganan tersendiri. Menurutnya, Batam harus memiliki kerjasama dengan daerah-daerah kantong untuk dapat menyelesaikan masalah PMI. “Harus ada kerjasama dengan daerah kantong,” pintanya.
Muhammad Shafix
Jakarta, November 2024 – INKOP TKBM kembali bekerja sama dengan Port Academy untuk menyelenggarakan Diklat…
Mengapa Anda Tidak Boleh Lewatkan Acara Ini? Ini adalah kesempatan pertama di Indonesia untuk memiliki TCG One…
Layanan SIP Trunk adalah layanan telepon yang dilakukan melalui jaringan internet, layanan SIP Trunk menjadi…
Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) mencatatkan kenaikan tipis sebesar 14 sen, atau 0,2%,…
Musik telah menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari, dan dengan kemajuan teknologi, mendengarkan musik semakin…
BATAM - Kepala Badan Pengusahaan Batam (BP Batam), Muhammad Rudi menerima sekaligus mendengarkan paparan Laporan…
This website uses cookies.