JAKARTA – 1 Mei 2019 akan menandai dimulainya peran Indonesia sebagai Ketua Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Jabatan yang bakal diemban selama sebulan penuh itu merupakan salah satu momen penting sejak Indonesia resmi menjadi anggota tidak tetap periode 2019-2020 badan utama dalam organisasi internasional yang bermarkas di New York, Amerika Serikat itu.
Menggantikan posisi Jerman yang memimpin DK PBB sepanjang April 2019, Indonesia bakal mengusung tema “Berinvestasi dalam Perdamaian: Meningkatkan Keamanan dan Kinerja Pemeliharaan Perdamaian PBB” atau Investing in Peace: Improving Safety and Performance of UN Peacekeeping.
Dipilihnya tema besar pemeliharaan perdamaian bukan tanpa maksud. Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata (KIPS) Kementerian Luar Negeri RI Grata Endah Werdaningtyas mengungkapkan tema tersebut diangkat Indonesia karena PBB memiliki peran penting dalam menjaga perdamaian dunia lewat misi pemeliharaan perdamaian.
“Realitanya, suka tidak suka, misi perdamaian PBB merupakan alat yang paling kuat dari Dewan Keamanan PBB untuk berkontribusi pada perdamaian dan keamanan internasional,” ungkap Grata pekan lalu dalam konferensi pers di Jakarta.
Pernyataan Grata dapat dibenarkan. Terlepas dari permasalahan terbatasnya sumber daya yang kerap membayangi operasional, misi pasukan perdamaian PBB tetap menuai pujian dan menjadi sinyal optimisme di tengah konflik yang terjadi di berbagai wilayah.
Oleh para pemimpin dunia, pasukan ‘helm biru’ ditasbihkan sebagai solusi tiap kali percikan konflik muncul. Kala masih menjabat sebagai presiden Amerika Serikat, Barack Obama bahkan pernah memuji pasukan perdamaian PBB sebagai “salah satu alat paling penting di dunia dalam menghadapi konflik bersenjata.” Sementara PBB sendiri mengklaim kehadiran pasukan perdamaian telah membantu menghentikan konflik dan mendorong rekonsiliasi lewat pemeliharaan perdamaian yang sukses di puluhan negara di dunia.
Misi Menjaga Perdamaian
Sejak diluncurkan pertama kali pada 1948, total 71 misi penjaga perdamaian PBB telah dikerahkan. 14 misi di antaranya masih berlanjut sampai sekarang dengan total personel yang berpartisipasi mencapai 102.736 orang per Maret 2019. Indonesia dalam hal ini, menjadi salah satu kontributor terbesar pasukan pemelihara perdamaian.
“Indonesia punya modal bicara mengenai isu ini karena kita adalah salah satu negara penyumbang terbesar pasukan perdamaian PBB,” papar Grata menjelaskan alasan pemilihan tema kepemimpinan Indonesia di Dewan Keamanan PBB.
Dengan total 3.080 personel yang dikirim, Indonesia menempati urutan ke-8 dari 124 negara penyumbang pasukan PBB. Pemerintah bahkan mencanangkan visi penugasan 4.000 personel perdamaian sampai akhir 2019. Visi peningkatan jumlah personel ini diikuti pula dengan komitmen untuk menambah pasukan perempuan di misi perdamaian.
“Pasukan perempuan pemelihara perdamaian memiliki kepekaan yang lebih baik, bisa memberi perlindungan yang lebih nyaman bagi korban kekerasan berbasis gender, dan lebih mudah diterima oleh masyarakat setempat [di daerah konflik],” ungkap Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam sambutannya saat membuka Regional Training on Women, Peace, and Security di Jakarta, Senin (8/4/2019).
Upaya pemerintah Indonesia untuk menambah jumlah personel perempuan dalam pasukan perdamaian PBB juga sejalan dengan inisiatif Sekretaris Jenderal PBB untuk meningkatkan kehadiran, keterlibatan, dan partisipasi perempuan dalam upaya pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.
Selain memfokuskan tema peran pemeliharaan perdamaian PBB, kepemimpinan Indonesia selama sebulan penuh pada Mei juga menjadi momentum untuk mengangkat pembahasan soal Palestina.
Sebagai salah satu prioritas yang diusung Indonesia selama menjabat anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, Indonesia memastikan isu Palestina tetap mendapat ruang selama presidensi Mei ini. Pada 9 Mei nanti, Indonesia rencananya akan memimpin diskusi informasl dalam format Arria Formula mengenai Palestina.
Diskusi yang bakal dihadiri langsung oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi tersebut akan menyoroti isu permukiman ilegal Israel di wilayah Palestina, terutama dalam aspek hukum dan kemanusiaan dengan menekankan Resolusi Dewan Keamanan PBB 2334 Tahun 2016.
Resolusi DK PBB 2334 diadopsi pada 23 Desember 2016 dan berisi kesepakatan untuk melabeli aktivitas Israel yang membuka permukiman di wilayah Palestina yang diduduki sejak 1967 sebagai sesuatu yang ilegal dan bertentangan dengan hukum internasional. Resolusi itu disetujui oleh 14 anggota Dewan Keamanan, sementara Amerika Serikat memilih abstain.
Resolusi 2334 merupakan resolusi soal kawasan Israel dan Palestina pertama yang diadopsi sejak Resolusi 1860 pada 2009. Meskipun resolusi tersebut tak memuat sanksi atau paksaan bagi Israel untuk menghentikan aktivitas ilegalnya, Tel Aviv tetap memberi reaksi keras untuk menanggapi resolusi tersebut. Pemerintah Israel kala itu langsung memanggil Duta Besar AS dan menarik perwakilannya di Selandia Baru dan Senegal, dua negara anggota tidak tetap DK PBB.
Diangkatnya isu permukiman ilegal Israel di wilayah Palestina yang dicaplok kala Perang 1967 datang bersamaan dengan janji politis Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk memperluas permukiman di Tepi Barat. Rencana tersebut diungkapkan Netanyahu beberapa hari jelang pemilihan umum dan menjadi sinyal bahwa pemimpin Israel tersebut mengabaikan “solusi dua negara”.
Sementara Netanyahu tampak nyaman dengan pilihannya sendiri, Indonesia beserta komunitas internasional lainnya tetap berpegang pada prinsip bahwa perdamaian antara Israel dan Palestina hanya dapat terwujud dengan solusi tersebut.
“Bagi Indonesia, solusi dua negara tidak bisa ditawar dan tidak ada plan B bagi solusi dua negara,” kata Menlu Retno pertengahan Maret lalu kala melakukan pertemuan bilateral dengan Menteri Luar Negeri Oman Yusuf bin Alawi bin Abdullah.
Durasi keanggotaan Indonesia di Dewan Keamanan PBB barangkali hanya berlangsung selama dua tahun sampai 31 Desember 2020 mendatang. Begitu pula kursi kepemimpinan yang hanya bertahan sebulan. Namun catatan selama tiga bulan pertama keanggotaan memperlihatkan kontribusi Indonesia yang patut diperhitungkan.
Indonesia telah mendorong berbagai pembahasan isu, mulai dari Palestina, terorisme, sampai krisis Venezuela. Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kemlu RI Febrian Ruddyard menambahkan Indonesia juga mendorong pembahasan konflik Yaman serta mengajukan usul perdamaian inklusif.
Indonesia pun dipercaya memimpin tiga komite resolusi yang meliputi Resolusi 1267 tahun 1999 tentang penetapan Osama bin Laden beserta Alqaeda sebagai kelompok teroris, Komite Resolusi 1540 tahun 2004 tentang nonproliferasi senjata pemusnah massal, dan Komite Resolusi 1988 tahun 2011 tentang Taliban di Afghanistan.
Posisi Indonesia anggota tak tetap Dewan Keamanan PBB untuk periode 2019-2020 bukanlah yang pertama. Indonesia pernah tiga kali mencicipi jabatan ini sebelumnya. Masing-masing pada 1973-1974, 1995-1996, dan 2007-2008.
Meski demikian, Indonesia harus menyadari bahwa dunia menghadapi tantangan keamanan dan perdamaian yang jelas berbeda dibanding 10 tahun lalu. Hanya dengan menyadari perubahan itulah Indonesia dapat benar-benar merealisasikan jargon “A true partner for world peace.”
Artikel ini telah terbit di https://m.bisnis.com/kabar24/read/20190429/19/916567/1-mei-indonesia-pimpin-dewan-keamanan-pbb-