Indonesia masih akan mengkaji dan mempertimbangkan kemungkinan untuk menjadi anggota aliansi. Apa plus minusnya apabila kelak Indonesia bergabung?
JAKARTA — Kepastian belum bergabungnya Indonesia menjadi anggota BRICS disampaikan oleh Presiden Joko Widodo usai menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS ke-15 yang digelar di Sandton Convention Center, Johannesburg, Republik Afrika Selatan, Kamis, (24/8).
“Kita ingin mengkaji terlebih dahulu, mengkalkulasi terlebih dahulu, kita tidak ingin tergesa-gesa,” ungkap Jokowi.
Meski begitu, lanjut Jokowi hubungan Indonesia dengan negara-negara anggota BRICS sudah sangat baik, terutama di bidang perekonomian.
BRICS saat ini hanya beranggotakan lima negara, yakni Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan. Namun menyusul keputusannya untuk memperluas keanggotaannya, enam negara berkembang sudah menyatakan minatnya, termasuk Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab dan Iran. Indonesia sendiri banyak diperbincangkan sebagai negara yang kemungkinan ikut bergabung.
Jokowi mengatakan salah satu proses yang harus dilakukan sebuah negara untuk menjadi anggota BRICS adalah dengan menyampaikan surat pernyataan minat. Ia menekankan sampai dengan saat ini, Indonesia belum menyampaikan surat tersebut.
“Untuk menjadi anggota baru dari BRICS suatu negara harus menyampaikan surat expression of interest, semua harus menyampaikan surat itu, dan sampai saat ini memang Indonesia belum menyampaikan surat tersebut,” tegasnya.
Ekonom CELIOS Bhima Yudhistira menilai bahwa sebaiknya Indonesia tidak bergabung menjadi anggota BRICS. Menurutnya, ada berbagai konsekuensi apabila nantinya Indonesia memutuskan untuk bergabung, salah satunya politik ekonomi Indonesia akan dikesankan berada pada poros China-Rusia.
“Dan ini bisa berdampak ke posisi Indonesia yang lebih sulit ketika bermitra atau menarik investasi dari negara Barat. Mungkin tidak langsung berdampak pada hambatan dagang atau pembatalan sepihak komitmen investasi tapi ada konsekuensi terhadap gugatan Eropa di WTO soal ekspor nikel, batalnya Tesla berinvestasi di Indonesia, kebijakan IRA (inflation reduction act) AS yang mendiskriminasikan Indonesia dan sebagainya. Bahkan kesepakatan JETP yang mundur juga menjadi risiko kedekatan Indonesia dengan poros BRICS,” ungkap Bhima.
Lebih jauh, Bhima mengatakan pasar akan selalu menghubungkan besarnya investasi China di tanah air dan kepentingan China pada program hilirisasi minerba di Indonesia apabila Indonesia kelak bergabung dengan BRICS. Apalagi berdasarkan laporan AidData, Indonesia termasuk dalam tiga besar negara penerima program Prakarsa Sabuk dan Jalan China.
“Yang jadi pertanyaan lain adalah bentuk kerjasama dengan negara BRICS apa tidak bisa di optimalkan kerjasama multilateral lain misalnya lewat G20 karena negara BRICS bagian dari G20. Kemudian Indonesia juga bisa melakukan penetrasi kerjasama bilateral langsung ke negara-negara BRICS tanpa ikut koridor BRICS,” jelasnya.
“Harus dilihat juga balancing power dalam kebijakan ekonomi jangan terlalu condong ke kepentingan China yang selama ini sudah banyak diakomodasi pemerintah,” tambahnya.