Selain itu, kata dia, peradaban itu bisa tercermin dari banyaknya pagelaran-pagelaran seni yang ada di daerah tersebut.
“Karena peradaban itu sinkron dengan kebudayaan, kebudayaan sinkron dengan kesenian. Untuk itu kita menyarankan kepada pemerintah untuk bisa menggandeng para pelaku seni agar bisa membangkitkan lagi kesenian di Batam,” bebernya.
Menurutnya, kota Batam ini bisa diibaratkan Indonesia dalam ukuran skala mini karena semua suku dan ras yang ada di Indonesia ada dalam satu kota yang total luasnya 1.595 km².
“Keunggulan Batam sebenarnya ada di situ untuk menarik wisatawan berkunjung ke Batam. Untuk itu kedepannya kita harap pemerintah sudah mulai harus memikirkan hal-hal seperti ini apabila ingin serius menjadi kota Pariwisata,” ujarnya.
Lanjut kata dia, hal yang harus segera dibenah oleh pemerintah Batam yaitu terkait kejelasan status dan legalitas lahan yang ada di Batam.
Karena menurutnya, berdasarkan hasil temuan pihaknya dilapangan dan juga beberapa aduan dari masyarakat masih banyak tempat ecowisata yang statusnya hukumnya masih belum jelas tetapi sudah membuka tempat ecowisata.
Masalah-masalah ini yang terkadang membuat bingung pihaknya sebagai aktivis lingkungan yang ada di Batam.
Padahal, kata dia, pemerintah kita itu tahu betul dengan masalah-masalah tersebut akan tetapi terkesan seperti dibiarkan sehingga terjadi kegiatan yang ugal-ugalan dalam merusak lingkungan Batam.
“Lucunya itu begini, pemerintah kita gencar mengatakan kepada masyarakat bahwa Batam krisis air baku, bahkan masyarakat sampai dikenakan rasioning air. Sementara untuk daerah tangkapan air (Catchment area) sendiri sudah banyak diberikan alokasi lahannya kepada pengusaha untuk dikelola menjadi tempat wisata, industri, perumahan dan lain-lain. Sebagai aktivis jujur kami merasa kami itu seperti berjalan sendiri. Padahal kehadiran kami dilingkungan ini untuk membantu dan mendorong jalannya program pemerintah yang telah disusun seusai dengan amanat Undang-undang yang berlaku,” tegasnya.