Menurut Al Araf, di negara demokrasi fungsi militer adalah sebagai alat pertahanan negara yang dipersiapkan, dididik dan dilatih untuk perang.
“Oleh karena itu meletakkan fungsi militer sebagai alat keamanan negara adalah keliru dan membahayakan demokrasi karena militer dapat digunakan untuk menghadapi masyarakat jika dinilai mereka sebagai ancaman keamanan negara,” ucap dia kepada BenarNews.
Bagi TNI, justru peran lebih besar tersebut merupakan bagian dari pengembangan profesionalisme tentara dalam koridor operasi militer selain perang, kata Julius, menambahkan ada 15 pasal yang akan direvisi dan hanya dua pasal yang berkaitan dengan peran dan fungsi tentara.
“Sudah banyak para personel TNI yang terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan operasi selain perang seperti penanganan Covid-19, bencana alam, hingga melakukan evakuasi WNI di luar negeri,” kata Julius.
Pada UU TNI nomor 34/2004, pasal 7 ayat 2 disebutkan operasi militer selain perang, antara lain untuk mengatasi gerakan separatisme dan pemberontakan bersenjata, mengamankan wilayah perbatasan dan objek vital nasional strategis, melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri, serta sejumlah kewenangan lainnya.
Pada usulan revisi Undang-Undang TNI termasuk di dalamnya mendukung tugas pemerintahan di daerah; mendukung Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang.
“Usulan revisi total ada 19 operasi militer selain perang dari sebelumnya hanya 14,” kata Julius.
Pasal operasi militer selain perang tersebut, bagi Andi dari KontraS, merupakan salah satu pasal bermasalah karena menurutnya akan membuka ruang bagi pengerahan tentara secara masif yang berisiko pelanggaran hak asasi manusia (HAM)
“Selain risiko pelanggaran HAM, pengerahan pasukan dalam rangka operasi militer selain perang juga sudah terbukti menjadi salah satu faktor dalam langgengnya situasi kekerasan di beberapa wilayah, utamanya Papua,” ujar Andi kepada BenarNews.
Impunitas militer
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan juga mencermati beberapa usulan lain yang dinilai tidak tepat.
Seperti misalnya dalam UU saat ini disebutkan bahwa “Dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah presiden”. Sementara itu usulan perubahannya menyebutkan hanya “TNI merupakan alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara berkedudukan di bawah presiden.”
“Jika kewenangan pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI oleh Presiden dihapus maka TNI dapat melakukan operasi militer tanpa persetujuan dan pengawasan dari Presiden,” terang Andi yang juga merupakan anggota Koalisi.
Hal lain yang menjadi kekhawatiran, terkait pengadilan pada anggota militer. Dalam UU TNI saat ini menyebutkan bahwa anggotanya tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer, dan pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Sedangkan dalam usulan revisi menyebutkan prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal baik pelanggaran hukum pidana militer maupun pidana umum. Hal ini dikhawatirkan akan memperkuat impunitas militer.
Untuk itu, Koalisi meminta kepada pemerintah untuk meninjau ulang usulan revisi UU yang sempat menjadi prioritas Program Legislasi Nasional (prolegnas) di DPR pada 2022 namun tidak termasuk sebagai salah satu dari 39 rancangan undang-undang yang menjadi prioritas pembahasan legislasi tahun ini.
“Kami memandang pemerintah sebaiknya meninjau ulang agenda revisi UU TNI, mengingat hal ini bukan agenda yang urgen untuk dilakukan saat ini,” kata Koalisi dalam keterangan tertulisnya.
Merespons banyaknya kritik dari elemen masyarakat sipil, Julius meminta pihak-pihak tersebut menyampaikannya dalam seminar agar dapat dipahami secara lebih jelas.
“Buat saja seminar umum, yang pro dan kontra dijadikan satu forum,” terang dia./BenarNews