Puspen TNI sebut revisi itu untuk mengakomodasi peran tentara dalam proses bernegara.
JAKARTA – Upaya militer yang sedang menggodok revisi undang-undang Tentara Nasional Indonesia dengan menambah peran prajurit aktif untuk memegang posisi di instansi pemerintah dan kewenangan lainnya mendapat kecaman dari aktivis hak asasi manusia yang mengkhawatirkan hal tersebut bisa mengembalikan Dwifungsi ABRI yang berpotensi melemahkan demokrasi.
Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono mengatakan pada Jumat (12/5) bahwa inisiatif merevisi undang-undang nomor 34 tahun 2004 itu untuk mengakomodasi lebih besar peran tentara dalam proses bernegara.
“(Revisi) terkait fakta-fakta konkret bahwa TNI aktif dalam penanganan Covid-19, penanganan sampah dan lain sebagainya. Ini untuk memaksimalkan peran TNI,” kata Julius kepada BenarNews.
Namun, peneliti dari lembaga advokasi hak asasi manusia SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos, berbeda pendapat. Ia mengingatkan TNI agar memfokuskan diri pada pengembangan kemampuan prajurit ketimbang memperluas peran tentara dalam posisi jabatan publik.
“Sebaiknya TNI fokus pada peningkatan profesionalisme institusi dan prajurit mengingat perubahan geopolitik global dan konsekuensi persaingan China dan AS di Pasifik,” jelas Bonar kepada BenarNews.
Usulan diperluasnya wewenang prajurit aktif untuk bisa menduduki jabatan sipil pada tujuh kementerian atau lembaga lain di luar apa yang sudah tertera dalam UU TNI saat ini, juga menuai kecaman.
“Ini sama saja dengan membuka peluang bagi kembalinya Dwifungsi ABRI. Sesuai dengan mandat reformasi seharusnya prajurit TNI hanya diperbolehkan untuk menduduki jabatan pada kementerian atau lembaga yang berkaitan dengan pertahanan negara,” urai Andi Muhammad Rezaldy peneliti dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) adalah dua kewenangan tentara pada zaman pemerintahan Presiden Soeharto, yaitu selain dalam bidang pertahanan juga pada sektor sosial politik.
Kewenangan ganda di tangan militer pada Orde Baru di bawah 32 tahun kekuasaan rejim Soeharto itu telah menajamkan otoritarianisme dan melemahkan demokrasi.
Pasca jatuhnya Soeharto pada 1998, pengaruh militer dalam lembaga-lembaga dihapus dan “tentara kembali ke barak”.
UU TNI saat ini menyebut bahwa perwira TNI diwajibkan mengundurkan diri terlebih dahulu sebelum melamar jabatan publik. Akan tetapi beleid itu mengecualikan beberapa jabatan untuk dapat diisi perwira aktif TNI. Jabatan ini terutama menyangkut dan berkaitan dengan keamanan negara, semisal Mahkamah Agung, bidang intelijen, lembaga ketahanan nasional, lembaga sandi negara, Search and Rescue (SAR), dan penanggulangan narkotika.
Dalam usulan revisi undang-undang, ada tambahan tujuh lembaga yang dapat diisi prajurit aktif, yaitu Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Staf Kepresidenan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Pengelola perbatasan, dan Badan Keamanan Laut.
Perluasan wewenang TNI selain perang
Ketua Centra Initiative yang juga anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Al Araf, menyatakan revisi UU TNI yang memasukkan fungsi tentara bukan hanya sebagai alat pertahanan negara tetapi juga keamanan negara adalah tidak tepat.