Menyikapi hasil verifikasi lapangan dari tim BPPHLHK wilayah Sumatera tersebut, ABI memberikan apresiasi sebesar-besarnya terhadap kehadiran negara dalam upaya penegakkan hukum lingkungan di Batam.
Terkait hasil verifikasi lapangan yang menyatakan tidak ditemukan Cut and Fill ilegal di lahan yang dikelola oleh PT PSR pihaknya ingin menanyakan apakah aktivitas pembuatan jalan lintas di Taman Wisata Alam sepanjang ± 6 km dengan ± 10 m bukan tergolong Cut and Fill atau gali timbun karena dua hal tersebut dilakukan di dua tempat yang sama?
Karena menurutnya, jalan tersebut dibuat dengan memotong permukaan tanah (Cut) dan meratakan (Fill) berikut dengan pepohonan yang tumbuh di atasnya/biogeofisik. Namun jika aktivitas tersebut dianggap hanyalah aktivitas pengerjaan tanah tanpa proses perizinan yang benar maka bagaimana dengan tegakkan pohon yang dihilangkan di atas lahan tersebut? Bagaimana dasar penghitungan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP)?
Dikatakan bahwa hal ini mengisyaratkan bahwa hutan apalagi hutan konservasi ini merupakan hutan yang sangat dilindungi keberadaannya yang mana hutan konservasi ini bukan hanya terdiri dari flora akan tetapi juga terdiri dari satwa yang dilindungi maka tata cara pengelolaan hutan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Muka Kuning ini mesti didasarkan atas kajian lingkungan strategis apalagi kawasan hutan konservasi tersebut termasuk bagian Daerah Tangkapan Air (DTA)/Catchment Area Waduk Duriangkang, Sei Ladi, dan Muka Kuning yang merupakan penyedia 90% kebutuhan air di Kota Batam.
Dijelaskan bahwa yang menjadi dasar ABI menyoroti kegiatan yang dilakukan oleh PT PSR ini karena Kota Batam telah mengalami krisis air baku semenjak tahun 2014 sehingga dikhawatirkan kerugian negara yang ditimbulkan lebih banyak dari pemasukan negara yang diberikan oleh pengelolaan swasta dalam kata lain pemasukan negara tidak seimbang dengan hilangnya daya dukung lingkungan dan terusiknya satwa yang hidup di hutan konservasi TWA Muka Kuning.