LABUAN BAJO – KTT ASEAN ke-42, di Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT, Rabu (10/5) resmi dibuka Presiden Joko Widodo. Di hadapan para pemimpin ASEAN Jokowi bertanya apakah negara-negara di kawasan hanya bisa diam dan menjadi penonton pada saat ekonomi global belum sepenuhnya pulih dan rivalitas semakin tajam.
Ketika membuka KTT ASEAN ke-42, Presiden Joko Widodo kembali melontarkan pertanyaan lainnya, yakni apakah ASEAN akan mampu menjadi motor perdamaian dan pertumbuhan? Jokowi pun meyakini bahwa ASEAN bisa melakukan hal tersebut asalkan ada persatuan.
“Saya yakin kita semuanya percaya ASEAN bisa, asalkan satu kuncinya: persatuan. Dengan persatuan, ASEAN akan mampu menjadi pemain sentral dalam membawa perdamaian dan pertumbuhan,” ungkap Jokowi.
Menurutnya, ASEAN mempunyai aset kuat untuk bisa menjadi epicentrum of growth di mana ada pertumbuhan ekonomi yang tinggi di atas rata-rata dunia, bonus demografi, dan stabilitas kawasan yang cukup terjaga.
“Sehingga ke depan ASEAN harus semakin memperkuat integrasi ekomominya, mempererat kerja sama inklusif, termasuk implementasi RCEP, dan memperkokoh arsitektur kesehatan, pangan, energi, dan stabilitas keuangan. Mari bekerja keras menjadikan ASEAN Matters: Epicentrum of Growth. Dan dengan ini saya nyatakan KTT ke-42 ASEAN dibuka!,” tutur Jokowi.
Banyak Tantangan
Ekonomi INDEF Eko Listyanto menilai untuk ASEAN bisa menjadi episentrum global butuh waktu panjang, dan banyak tantangan yang harus dihadapi.
“Kalau arahnya menjadi episentrum global memang masih panjang, karena kalau bicara ekonomi, episentrum pertumbuhan mensyaratkan episentrum keuangan juga. Itu yang biasanya lebih sulit. Ok, kita bisa menguasai sumber daya riil yang bisa kita kontribusikan bagi dunia lebih mungkin, tapi soal keuangan beda cerita,” ungkap Eko.
Ia menjelaskan, memang berbagai sumber daya alam kerap dikuasai oleh negara di ASEAN seperti lumbung pangan yakni beras yang ada di Thailand dan Vietnam. Selain itu, lumbung CPO juga berada di Indonesia dan Malaysia. Dia mengatakan, untuk bisa menjadi epicentrum of growth bukan hanya sekedar menjadi penghasil saja, namun harus bisa menjadi pendaya guna dari sumber daya alam tersebut yang sejauh ini tetap ada di negara maju.
“Potensinya ada, tapi untuk memastikan bahwa ASEAN Matters sebagai episentrum of growth itu butuh dua aspek; pertama mengoptimalkan sumber daya yang ada di kita misalkan SDM ASEAN yang muda, tapi itu baru potensi. Untuk menjadi realisasi, forum ASEAN harus memastikan bagaimana mengelola SDM kita menjadi SDM yang mempunyai competitiveness yang bagus,” katanya.
Kedua, lanjut Eko adalah soal connectivity yang tingkat competitiveness-nya masih jauh dari negara-negara maju. Lanjutnya adalah terkait digitalisasi perekonomian yang perlu kembali diperkuat terutama antar negara di kawasan ASEAN tersebut.
Sementara itu, pakar ASEAN Adriana Elizabeth mengatakan bahwa dari sisi ekonomi, kawasan ASEAN harus bisa menjalin kerja sama ekonomi lagi terutama di kawasan perbatasan. Hal ini diperlukan untuk mempersempit kesenjangan ekonomi antar negara di kawasan ini.
“Kalau ekonomi, kalau ada krisis baru ramai. ASEAN bertumbuh secara ekonomi walaupun hubungan perdagangan dan investasi antar negaranya tidak signifikan karena tetap ada FDI dari negara lain ke ASEAN. Jadi kawasan ini sangat punya daya tarik. Kalau kemudian mau dijadikan episentrum memang ASEAN harus lebih fokus kepada pengembangan ekonomi terutama untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antar negara,” jelasnya.
Selain itu, Adriana menekankan penyebab mengapa kawasan ASEAN selalu memiliki daya tarik bagi negara-negara maju yakni selain karena ekonomi, hampir tidak ada konflik di kawasan sejak ASEAN dibentuk pada tahun 1967 sampai saat ini.
“Yang jarang dibahas adalah bagaimana ASEAN bisa terus solid, pertama tidak boleh ada konflik di kawasan ini, walaupun ASEAN selalu berada di tengah pertarungan negara-negara besar. Ini menjadi daya tarik ASEAN terutama lebih ke sektor ekonomi karena bagaimana pun dinamika ekonomi bergeraknya ke Asia termasuk ke kawasan ini,” katanya./VOA