Walhi ragukan keseriusan pemerintah dalam transisi energi karena “terlalu banyak pengecualian”.
JAKARTA – Pemerintah Indonesia mengizinkan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara untuk proyek-proyek tertentu dan dalam kondisi spesifik, setahun setelah mengumumkan akan menghapusnya secara bertahap untuk mencapai target netralitas karbon pada 2060.
Sekitar 65 persen kebutuhan energi Indonesia didapat dari pembangkit listrik tenaga batu bara, tetapi seorang analis mengatakan bahwa pengurangan batu bara lebih dari 20 persen pada tahun 2035 akan berdampak pada pasokan energi, yang pada gilirannya akan mengganggu pertumbuhan ekonomi.
Peraturan Presiden yang ditandatangani hari Rabu mengatakan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap dengan bahan bakar batu bara dilarang, kecuali yang telah ditetapkan sebelum berlakunya peraturan tersebut, atau PLTU yang memenuhi beberapa persyaratan.
Persyaratan pertama, PLTU terintegrasi dengan industri yang terbangun berorientasi meningkatkan daya tambah sumber daya alam atau termasuk dalam proyek strategis nasional yang memiliki kontribusi besar terhadap penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Kedua, ada komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca minimal 35 persen dalam waktu 10 tahun sejak PLTU beroperasi dan terakhir, PLTU beroperasi paling lama sampai dengan tahun 2050.
Oktober tahun lalu pemerintah menegaskan tidak akan menerima proyek baru pembangunan PLTU untuk mewujudkan energy nasional yang bertumpu pada energi baru terbarukan.
“Kami tidak lagi menerima usulan PLTU batu bara yang baru. Jadi, proyek yang ada di RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listik) sekarang adalah ongoing project atau yang sedang berjalan,” kata Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rida Mulyana
Manager Kampanye Energi dan Tambang WALHI, Rere Jambore Christanto, meragukan keseriusan pemerintah dalam transisi energi karena “terlalu banyak pengecualian yang dibuat oleh Presiden”.
“Pelarangan pembangunan PLTU namun disertai banyak alasan dan pengecualian ini menandakan bahwa arah pemenuhan ketenagalistrikan di Indonesia masih setengah hati berubah,” ujarnya kepada BenarNews.
“Padahal ketergantungan terlalu lama terhadap energi fosil justru akan membebani keuangan negara lebih berat lagi melalui subsidi yang harus ditanggung pada APBN,” tambahnya.