Inilah Hal Krusial pada RUU Pilkada – SWARAKEPRI.COM
Headlines

Inilah Hal Krusial pada RUU Pilkada

JAKARTA – swarakepri.com : Rancangan Undang-undang(RUU) Pemilihan Kepala Daerah(Pilkada) saat ini sedang digodok oleh Pemerintah dan DPR. Dari usulan yang ada dalam RUU tersebut, pemerintah temukan enam butir yang krusial yakni :

1. Pilkada Serentak

Pemerintah mengusulkan pelaksanaan pilkada serentak pada 2015 dan 2018.

Pada 2015, dilaksanakan pilkada serentak tahap pertama bagi seluruh gubernur, bupati dan wali kota yang masa jabatannya berakhir di tahun tersebut.

Pilkada serentak tahap kedua berlangsung 2018 untuk gubernur, bupati dan wali kota yang masa jabatannya berakhir tahun 2016, 2017 dan 2018.

Pada 2016 dan 2017 diisi pejabat sampai dengan terpilih kepala daerah definitif di tahun 2018. Pejabat bisa setahun, tidak dua tahun sekaligus. Ini akan diawasi.

Sedangkan pilkada serentak secara nasional pertama kali bakal dimulai pada 2020.

“Setahun setelah digelar pemilu serentak legislatif dan presiden, digelarlah pilkada serentak nasional. Tahun 2020 dianggap paling tepat ketimbang 2019. Bagi kepala daerah yang terpilih 2018 sampai 2020, masa jabatannya berkurang dikarenakan pilkada serentak nasional. Namun, tetap diberikan uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapat hak pensiun penuh,” kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemdagri, Djohermansyah Djohan, di Jakarta, beberapa waktu lalu.

2. Pengisian Wakil Kepala Daerah

Pengisian wakil gubernur, bupati, wali kota melalui mekanisme pengangkatan oleh pemerintah. Sebab wakil kepala daerah itu akan melaksanakan tugas jabatan administrative.

“Sebaiknya (wakil kepala daerah) bukan dipilih, tapi dianggkat dengan kata lain tidak satu paket. Terbuka peluang bisa dari PNS (pegawai negeri sipil) dan non PNS,” kata Djohan.

Wakil kepala daerah berpeluang lebih dari satu. Artinya, akan ada dua wakil kepala daerah dalam suatu daerah.

Mekanisme penunjukkan wakil kepala daerah dapat ditunjuk pemerintah atau DPRD. Namun, jika lewat DPRD, kepentingan politik terlalu tinggi.

“Ada harga dan perjuangan di DPRD nantinya,” ujar Djohan.

3. Politik Dinasti

Pemerintah mengatur politik dinasti sedemikian rupa, agar terhindar uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam RUU Pilkada, calon kepala daerah tidak boleh mempunyai kepentingan langsung dan tidak langsung dengan petahana.

“Tidak boleh mempunyai ikatan perkawinan dan kekerabatan (ke atas, bawah dan samping). Dimungkinkan maju selang satu periode masa jabatan, di tempat atau daerah lain,” kata Djohan.

4. Penyelesaian Sengketa

Sengketa yang terjadi antar peserta pemilihan, lalu peserta pemilihan dengan penyelenggara sebagai akibat dikeluarkan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berkaitan penetapan calon kepala daera, diselesaikan terlebih dahulu di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Kalau tidak bisa, maka pihak yang merasa dirugikan bisa mengajukan gugatan tertulis ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).

Selanjutnya, penyelesaian sengekta yang timbul akan dilakukan sesuai tahapan. Pengajuan gugatan yang diajukan ke PTTUN dilakukan setelah seluruh upaya administrative di Bawaslu selesai.

Dilakukan pemeriksaan, mengadili dan memutuskan oleh majelis khusus pleh hakim khusus di lingkungan hakim karir. Putusan PTTUN hanya dapat melakukan kasasi oleh MA. Kasasi peluangnya satu kali.

Sementara penyelesaian tindak pidana pemilihan, dilakukan penyelidikan oleh polisi. Berkas kemudian diserahkan ke penuntut umum lalu dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN), sidang pemeriksaan oleh majelis khusus.

“Dapat dilakuan banding 1 kali ke PT. putusan PT terakhir mengikat. Ini penting agar jangan sudah jalan proses pilkada, lalu ada permintaan kepala daera terpilih tidak dilantik,” kata Djohan.

Sedangkan penyelesaian sengketa hasil pilkada bupati dan wali kota, diselesaikan di tingkat PT. Sementar untuk gubernur diselesaikan di MA.

5. Sumber Dana, Transparansi Pencalonan, dan Pengaturan Kampanye

Sumber dana pilkada berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), tapi dapat didukung melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

Transparansi pencalonan akan dilakukan melalui uji publik. “Ada panel yang terdiri 5 orang (1 KPU, 2 akademisi, 2 tokoh masyarakat). Lalu meliputi kompetensi dan integritas, dilaksanakan secara terbuka sebelum pendaftaran calon.

Pengaturan kampanye, difasilitasi dan diselenggarakan KPU Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Hal tersebut dinilai penting untuk menghindari kapitalisasi.

APBN sendiri akan membiayai, debat publik, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga, iklan dan rapat umum.

Sedangkan di luar APBN hanya dibatasi dengan kegiatan pertemuan terbatas dan dialog atatu tatap muka.

6. Sanksi Terima Imbalan

RUU Pilkada bakal mengatur ketat proses pilkada. Salah satunya terkait politik transaksional partai dan calon kepala daerah.

Partai dilarang menerima imbalan dalam proses pencalonan kepala daerah.“Jika terbukti dikenai sanksi denda 10 kali lipat dari nilai imbalan yang diterima,” kata Djohan.

Dia menambahkan, partai yang terbukti menerima imbalan juga akan diumumkan ke media massa.(red/SP)

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Independen dan Terpercaya

PT SWARA KEPRI MEDIA 2023

To Top