Ada 6 poin yang disampaikan pihaknya, yakni: Pertama, bahwa lahan tersebut dalam penguasaan kami sejak tahun 1942 dari orangtua kami sampai turun-temurun di Belian, kota Batam. Dengan berdirinya bangunan rumah keluarga kami, tempat tinggal beserta Masjid yang sudah ada PL dan legalitas, tempat kami beribadah. Kedua, lahan tersebut telah dicadangkan kepada keluarga kami untuk tempat tinggal. Dan kami belum pernah dibebaskan lahan yang dimaksud oleh BP Batam.
Ketiga, kami warga Melayu asli tempatan turun-temurun sangat keberatan dan menolak untuk dialokasikan ke pihak PT Artha Wijaya Sakti di dalam area/kawasan kampong kami yang hanya tinggal sedikit lagi lahan yang tersisa 6000 M² dengan total keseluruhan lahan tersebut seluas 23 hektar +-. Keempat, dan kami menyerahkan sebagian besar lahan kami, tanah wilayah kepada BP Batam untuk dikembangkan demi pembangunan kota Batam.
Kelima, dan kami juga meminta agar kantor Badan Pertanahan Nasional [BPN] kota Batam tidak menerbitkan sertifikat kepada PT yang bersangkutan masih dalam sengketa untuk ditinjau kembali. Keenam, sangat besar harapan kami kepada BP Batam untuk merevisi kembali atas lahan kami tersebut dan mempertimbangkan rasa keadilan, kearifan lokal dan bijaksana agar kami tidak terbuang dari kampong kami sendiri. Dan kami mohon alokasi tersebut dibatalkan dan dialihkan kepada kami kembali.
12 Bangunan Masuk Dalam PL PT Artha Wijaya Sakti
Bolia mengatakan, terdapat 12 bangunan yang masuk dalam PL perusahaan. 11 bangunan rumah tinggal, dan 1 bangunan rumah ibadah [Masjid]. Selain itu, dalam perancangan pihaknya di lahan tersebut juga hendak dibuat fasilitas umum [Fasum] untuk masyarakat. Karena di kampung tersebut belum ada Fasum, sementara perumahan sekitarnya sudah ada.
”Fasum ini juga penting bagi kami, masa di perumahan ada Fasum sementara di kampung kami tidak ada?,”
Bolia menegaskan bahwa dirinya bukanlah anti pembangunan, tetapi ia berharap pembangunan yang dicanangkan pemerintah itu janganlah sampai menghilangkan keberadaan masyarakat Melayu tempatan di sana.
”Kami sedikit pun tidak menghalangi pembangunan. Silahkan melakukan pembangunan. Tapi, tolong perhatikan kami! Agar kami bisa bersama-sama tumbuh. Tetap tidak hilang Melayu di Bumi. Itu besar harapan kami,”
Masyarakat Bersedia Membayar UWT BP Batam
Pada tahun 2018 lalu, kata Bolia, pihaknya pernah melakukan rapat koordinasi dengan Ditpam BP Batam setelah masyarakat sempat memasukkan surat penolakan berkali-kali terhadap pengalokasian lahan di KP. Belian Tua.
Rapat koordinasi ini difasilitasi oleh PLH. Kasubdit Pam Lingkungan & Kehutanan BP Batam, Puraem O Sinambela untuk melakukan pembenahan dan penataan terhadap kampung mereka.
Bolia mengaku bahwa masyarakat bersedia membayar Uang Wajib Tahunan (UWT) BP Batam secara keseluruhan. Informasi yang didapatkan dari BP Batam untuk total keseluruhan UWT lahan 6000 M² ini sekitar Rp. 670-an juta tetapi lahan tersebut diserahkan kepada mereka.
Sehingga dapatlah kesepakatan bersama dalam Berita Acara Rapat Penataan Kavling RT 01/RW 06 Keluruhan Belian tertanggal 27 September 2018, sebagai berikut: Satu, akan dilakukan penataan kavling RT 01, RW 06 Keluruhan Belian. Dua, warga dipersiapkan untuk pergeseran/pindah bangunan sementara guna dilakukan clearing di lokasi untuk dijadikan kavling sesuai site plan [penataan].
Tiga, aturan pengajuan alokasi kavling, lahan harus sudah dilakukan pengukuran dan clearing yang sesuai ketentuan/site plan. Empat, pengukuran sesuai persetujuan bersama [RT/RW dan Ditpam] akan dilaksanakan pada hari Sabtu, 29 September 2018 pukul 10:00 WIB. Lima, selanjutnya alat berat akan masuk guna clearing lokasi lahan [sesuai persetujuan bersama].
Enam, penetapan/pengaturan kavling ditentukan oleh warga dikoordinir oleh RT/RW. Tujuh, kavling nantinya akan mendapatkan legalitas dari BP Batam. Delapan, Ditpam akan membantu memberikan rekomendasi pengurusan administrasi legalitas kavling.
Delapan poin kesepakatan yang tertulis dalam berita acara rapat ini, kata Bolia, belum ada satu pun yang terealisasi. Terkait apa kendalanya, ia juga kurang begitu mengetahui secara pasti. Makanya pihaknya masih menunggu realisasi kesepakatan tersebut.
”Kalau sudah ada penetapan dari BP Batam kan langsung kita bisa bayar UWT-nya. Tapi, sejak saat itu tidak ada lagi kabarnya,” bebernya.
Namun, sekarang sudah berbeda cerita. Selagi ia menunggu penetapan BP Batam, ternyata BP Batam malah menerbitkan PL ke PT Artha Wijaya Sakti di lokasi lahan tersebut.
Amir (kiri), Mursalim Molakana (kanan) selaku Penerima Kuasa Direktur PT Artha Wijaya Sakti./Foto: Muhammad Shafix
Apa Kata Perusahaan?
Pada Rabu 23 Juli 2025, BeritaBenar mencoba mendatangi kantor PT Artha Wijaya Sakti untuk melakukan konfirmasi atas sengketa lahan di kampung Belian Tua tersebut. Saat itu, kami belum bisa bertemu langsung dengan Direksi perusahaan. Namun, staf kantor menghubungkan kami kepada, Mursalim Molakana yang diketahui sebagai penerima kuasa Direktur PT Artha Wijaya Sakti, Sunardi seorang pengusaha asal Jakarta.
Program promo diskon tarif 30% yang diberikan untuk pengguna KA ekonomi non subsidi mendapat apresiasi…
Kabar menggembirakan bagi para penggemar kebab! Kebab Turki Baba Rafi kembali membuat gebrakan dengan pembukaan…
PT Riset Perkebunan Nusantara (PT RPN), yang merupakan anak perusahaan dari Holding Perkebunan Nusantara PTPN…
Dalam rangka memperingati Hari Konservasi Alam Sedunia, LindungiHutan mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran…
Bank Raya, bank digital bagian dari BRI Group, terus memperkuat dukungannya terhadap pengembangan Usaha Mikro,…
PT Pelindo Multi Terminal Branch Bumiharjo Bagendang, meraih penghargaan Kecelakaan Nihil (Zero Accident) dari Dinas…
This website uses cookies.