JAKARTA — Presiden Joko Widodo akhirnya menjelaskan pernyataannya soal cawe-cawe atau ikut campur dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang dilontarkannya dalam pertemuannya dengan para pemimpin redaksi media massa nasional beberapa waktu lalu.
Meskipun pernyataannya ikut campurnya menimbulkan banyak pro dan kontra, Jokowi menegaskan bahwa ia tidak menyesalinya.
“Kan sudah saya sampaikan bahwa saya cawe-cawe itu merupakan kewajiban moral, menjadi tanggung jawab moral saya sebagai Presiden dalam masa transisi kepemimpinan nasional di 2024,” ungkap Jokowi dalam konferensi pers usai menghadiri Rapat Kerja Nasional Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Sekolah PDIP Lenteng Agung, Jakarta, Selasa (6/6).
Ia mengatakan, cawe-cawe dirinya dimaksudkan untuk menciptakan transisi kepemimpinan tanpa adanya hambatan yang berarti.
“Ya harus menjaga agar masa transisi kepemimpinan nasional lewat pemilu serentak, lewat pilpres itu, bisa berjalan dengan baik tanpa ada riak-riak yang membahayakan negara dan bangsa. Masa kalau ada riak-riak yang membahayakan negara dan bangsa saya disuruh diam? Ndak lah,” tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri membantah bahwa dirinya yang menekan Jokowi agar ikut campur dalam Pilpres 2024.
“Itu ya, makanya wartawan itu suka pikirannya begitu. Ngapain menekan Presiden?” ungkap Megawati.
Menurutnya, dirinya merupakan orang yang selalu taat aturan, dan Jokowi merupakan presiden yang dipilih oleh rakyat. Ia juga berkelakar bahwa dirinya tidak berani untuk menekan seorang Presiden karena Jokowi banyak dijaga oleh Paspampres.
Potensi Abuse of Power
Pengamat politik Ujang Komaruddin menilai pernyataan cawe-cawe Jokowi itu terkait keinginannya untuk ikut campur dalam pembentukan koalisi dan perjodohan capres dan cawapres. Ujang mengatakan, apa yang dilakukan Jokowi sebenarnya sangat tidak pantas. Menurutnya, sebagai kepala negara seluruh rakyat Indonesia, Jokowi sepatutnya bersikap netral.
“Ya seharusnya Pak Jokowi membuat statement yang mengademkan, atau berada di tengah, kenapa? Karena cawe-cawe ini kan kesannya dukung mendukung, ada satu yang didukung lalu yang satunya tidak didukung. Ini yang menjadi problem, yang membuat kandidat atau pendukung lain menganggap bahwa Pak Jokowi tidak adil. Seorang presiden atau kepala negara yang memimpin seluruh rakyat Indonesia seharusnya berlaku adil,” ungkapnya kepada VOA.
Ia menjelaskan, sikap netral kepala negara tersebut telah ditunjukkan oleh presiden-presiden sebelumnya seperti Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono yang menurutnya merupakan warisan yang cukup baik bagi demokrasi bangsa Indonesia.
Sikap cawe-cawe tersebut, kata Ujang, dikhawatirkan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, dan bukan tidak mungkin bisa merusak demokrasi di Tanah Air.
“Mestinya ya netral saja, tidak cawe-cawe. Dukung mendukung boleh secara pribadi, secara individu sebagai warga negara, tetapi sebagai presiden, itu yang tidak patut atau tidak pantas karena diduga nanti akan bisa menggunakan infrastruktur negara untuk kepentingan cawe-cawe-nya itu. itu yang membuat dianggap oleh publik akan tidak adil,” katanya.
“Karena Presiden punya hukum, punya polisi, tentara, kejaksaan, punya semua infrstruktur untuk bisa memenangkan kandidat tertentu, dan itu yang berbahaya bisa dianggap abuse of power, itu yang dikhawatirkan oleh banyak pihak,” pungkasnya./VOA