Ia mencontohkan, selama ini para PMI yang ingin mengadu nasibnya ke luar negeri sering kali merasa tidak nyaman ketika melaporkan data-data mereka mulai dari tingkat pemerintah desa. Aparat pemerintah desa, katanya, sering kali tidak melayani mereka dengan baik sehingga membuat mereka lebih memilih jalur yang tidak resmi.
“Banyak sekali warga-warga itu nggak mau datang ke desa, terutama perempuan. Kalau si calon PMI-nya sendiri yang berangkat ke Desa, untuk melaporkan datanya itu bagus sekali. Ketika saya tanya, kenapa tidak mau (melapor) ke desa? Dijawabnya, katanya nanti malah diomongin dan sebagainya. Jadi ya di desa pelayanannya juga harus welcome, tidak boleh ada diskiriminasi,” tuturnya.
Ia menyarankan, perlindungan terhadap PMI harus dimulai dari pembenahan data dari tingkat desa. Savitri menggarisbawahi, jangan sampai data PMI yang berangkat tidak sesuai prosedur resmi lebih besar jumlahnya dibandingkan data yang dimiliki oleh pemerintah.
“Yang perlu pemerintah lakukan, adalah melihat kembali sistem tata kelola migrasi yang ada, mengkaji ulang, permasalahannya dimana sih. Kan pasti pemerintah punya data, permasalahannya PMI dimana, kan ada berbagai macam. Dari data yang ada, kemudian harusnya dicari solusi seperti apa. Misalnya kalau PMI yang terjebak pada proses sistem penempatan unprosedural, atau ilegal, ya perketat pengawasan di debarkasi, embarkasi. Kemudian bekerja sama dengan negara tujuan, kemudian bekerja sama dengan imigrasi,” jelasnya.
Savitri juga mengingatkan pemerintah untuk mensosialisasikan bahayanya bekerja ke luar negeri melalui jalur yang tidak resmi. Menurutnya perlu campur tangan semua pihak, mulai dari aparat pemerintah desa, tokoh masyarakat setempat, berbagai organisasi, hingga pemerintah pusat untuk meningkatkan kewaspadaan mereka./VOA