Kasus Cenderung Ditutupi
Pakar hukum sekaligus dosen di Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sri Wiyanti Eddyono Ph.D mengaku punya banyak pengalaman selama berinteraksi dengan pendamping kasus anak.
“Ya, memang pada umumnya kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak, dalam dunia pendidikan, itu seolah-olah memang ditutup-tutupi. Baik oleh pihak sekolah, ataupun orang tua, karena permintaan sekolah. Ataupun karena takut, malu, berhadapan dengan pihak yang sangat tinggi posisinya, misalnya pesantren,” ujarnya.
Sri Wiyanti juga mencatat seringnya ada ancaman terhadap korban dan keluarganya. Ancaman itu seperti, jika mengungkap kasusnya maka korban tidak bisa belajar di tempat lama, tetapi sekaligus tidak diberi rekomendasi untuk pindah ke tempat baru. Ancaman juga diberikan terhadap pendamping kasus. Pihak yang mengancam biasanya bukan pelaku, tetapi keluarga pelaku atau lingkaran pelaku.
“Jadi itu yang saya pikir, ada problem yang sangat besar di dunia pendidikan, karena ada proses pengabaian kekerasan, toleransi terhadap kekerasan, dan ditambah lagi ini ada budaya yang merendahkan anak,” tambahnya.
Budaya merendahkan anak terwujud ketika orang dewasa menganggap pengalaman anak tidak penting, pandangannya tidak penting dan tidak mempercayai apa yang dialami oleh anak.
“Nah, seolah-olah kemudian dunia pendidikan ini imun, tidak terjamah dan tidak tersentuh,” tegas Sri Wiyanti.
Saat ini, Indonesia sudah memiliki politik hukum yang sangat jelas terkait kekerasan seksual terhadap anak, misalnya dengan penyediaan kebijakan-kebijakan. Sebagai pakar hukum, Sri Wiyanti mendorong pemakaian Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dalam kasus kekerasan seksual.
Untuk kasus yang terjadi sebelum undang-undang itu disahkan, pidananya menggunakan aturan lama, tetapi hukum acaranya dapat menggunakan UU TPKS.