Program ini juga akan memiliki skema ikatan dinas, di mana lulusan diwajibkan bekerja di Rempang selama lima hingga sepuluh tahun sebelum diberikan kebebasan untuk memilih menetap atau berpindah.
Selain itu, Kementerian Transmigrasi juga menyiapkan konsep Transmigrasi Karya Nusantara, yang berfokus pada penciptaan lapangan kerja berbasis keterampilan. Program ini dirancang untuk mengembangkan keahlian tenaga kerja sesuai kebutuhan industri di Rempang.
Terkait persoalan lahan dan sertifikat bagi warga terdampak, Muhammad Iftitah menegaskan bahwa pihaknya masih dalam tahap penjajakan dan akan berkoordinasi dengan Badan Pengusahaan (BP) Batam serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR).
“Kami harus mendapatkan kewenangan terlebih dahulu dalam bentuk Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Transmigrasi. Oleh karena itu, kami akan berkoordinasi dengan BP Batam sebagai pemegang HPL di wilayah ini,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya membangun kepercayaan dengan masyarakat terkait pemenuhan janji pemerintah.
“Apa yang sudah dijanjikan pemerintah harus dipenuhi. Kalau butuh waktu, minimal ada kejelasan bagi masyarakat. Yang terpenting adalah adanya solusi nyata,” tutupnya.
Sebagaimana diketahui sebelumnya, proyek PSN Rempang Eco-City ini bergerak pesat setelah mendapati angin segar dari investor pertama asal China, Xinyi International Investments Limited, dengan nilai investasi mencapai Rp348 triliun hingga tahun 2080.
Pulau yang dihuni sekitar 7.512 jiwa ini mayoritas diduduki oleh suku Melayu, kini ternoda oleh ketegangan yang menyelimuti kawasan tersebut.
Hingga saat ini, mayoritas masyarakat di Pulau Rempang terus melakukan gelombamg protes penolakan relokasi dan meminta Presiden Prabowo Subianto untuk mengevaluasi PSN ini.
Menanggapi kunjungan ini, Anggota Bidang Politik Sumber Daya Alam (SDA) Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, Parid Ridwanuddin turut mengkritik rencana transmigrasi lokal di Pulau Rempang yang diusulkan Menteri Transmigrasi Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara.
Menurutnya, kebijakan tersebut tidak menyentuh akar persoalan utama, yakni kurangnya partisipasi masyarakat di dalam PSN Rempang Eco-City.
Parid menilai, istilah transmigrasi lokal hanya merupakan bentuk permainan bahasa pemerintah untuk menghaluskan penggusuran.
“Ini politik bahasa pemerintah. Padahal yang terjadi adalah penggusuran. Transmigrasi lokal bukan solusi karena bukan di situ akar permasalahannya. Masyarakat kini semakin memahami dampak dari proyek semacam ini dan tidak mudah dimanipulasi dengan istilah-istilah bahasa politis,” kata Parid.
Ia menekankan, evaluasi terhadap PSN di Rempang seharusnya menjadi prioritas pemerintah, mengingat proyek ini telah memicu konflik sosial serta mengancam hak-hak warga.
“Prinsip-prinsip dalam konstitusi sudah dilanggar. Seharusnya PSN di Rempang dievaluasi dan dihentikan,” ujarnya.
X
