Ambiguitas Perubahan
Rustam Awat, dosen di Universitas Dayanu Ikhsanuddin, di Bau Bau, sangat akrab dengan kehidupan suku Bajau lantaran hobi fotografi. Karena hobi itu pula, dia melihat bagaimana perkampungan Bajau mengalami perubahan.
“Rata-rata di laut ya, maksudnya terpisah dengan daratan. Kemudian ada dulu kebijakan pemerintah untuk mendaratkan orang laut, mendaratkan orang Bajau. Jadi mereka digeser ke pesisir, atau kalau tidak, biasanya mereka itu dibangunkan jembatan supaya terhubung dengan daratan,” ujarnya.
Di Wakatobi misalnya, ada satu kampung Bajau sudah terhubung dengan daratan dengan jembatan kecil, dan tiga kampung tanpa jembatan.
“Orang Bajau menyebut orang Bajau lain sebagai Sama, sedangkan kita-kita ini, yang berasal dari suku di luar Bajau, mereka panggil dengan sebutan Bagai,” lanjut Rustam.
Hidup bersama laut, bermakna sepenuhnya ada di sana. Bahkan, kata Rustam, anak-anak Bajau bermain bola di lamun-lamun pesisir, ketika air laut surut. Anak-anak ini tidak diajari untuk berenang atau menyelam, mereka menguasai kemampuan itu secara alamiah, kata Rustam, karena kehidupan mereka memang berpusat di laut.
Sekarang, ada Kampung Bajau yang membangun lapangan futsal di atas cor beton, meski tetap di tengah laut. Perubahan yang dilihat Rustam sepanjang menjalani hobi fotografi.
“Ini kan ada ambiguisitas. Kalau saya ditanya sebagai orang yang mendalami fotografi, ya saya pengennya kehidupan mereka seperti dulu. Tapi, orang-orang di sana itu juga mau modern. Mau seperti kehidupan orang darat. Mau bangun rumah batu, mau dibangunkan jembatan supaya terhubung dengan daratan, biar biar bisa beli sepeda motor,” paparnya.
Dalam interaksi bersama orang Bajau inilah, kata Rustam, dia mendengar sendiri bagaimana kehidupan modern juga diimpikan. Mereka juga memegang telepon genggam dan akrab dengan internet.
Namun, Rustam yakin bahwa Suku Bajau tetap akan berada di laut. Pengetahuan dasar mereka adalah tentang laut. Laki-laki mencari ikan dan perempuan menjualnya menggunakan perahu-perahu kecil. Meskipun kehidupan laut tidak bisa dipisahkan dengan suku tersebut, lanjut Rustam, tetapi perubahan tetap terlihat. Tiang bakau untuk penyangga rumah akan diganti beton, dan rumah kayu diganti berbahan semen.
Ada tiga unsur penting bagi sebuah perkampungan Bajau, yang memberi keyakinan bahwa mereka akan tetap tinggal di tengah laut.
“Ketika dijadikan pemukiman, dia harus punya tiga item. Dia harus punya sarana air bersih, harus punya bakau dan dia harus punya terumbu karang,” kata Rustam.
Bakau dan terumbu karang, dalam tradisi konstruksi rumah Bajau, setidaknya akan membuat mereka tetap berada di laut.