Di antara korban yang menentang pembebasan bersyarat Umar adalah Thiolina Marpaung, 49, yang setelah dua dekade tragedi masih harus melakukan pemeriksaan medis rutin, karena lensa matanya pecah terkena beling. Ia bahkan harus dioperasi pada malam kejadian itu.
Ia mengungkapkan rasa traumanya menyaksikan temannya satu mobil tewas terbakar setelah bom dengan kekuatan besar meledak.
“Dua orang teman saya sampai kebakar dan kita bertiga masih hidup. Kita bertiga mendapatkan kesusahan berbeda beda dari Bom Bali itu,” kata Thiolina kepada BenarNews.
Ia merasa pembebasan cepat Umar sebagai sebuah ketidakadilan.
“Harusnya 20 tahun tapi didiskon. Tidak bisa dicegah, karena aturan pemerintah,” ujarnya, “korban mendapat apa? Saya lahir tidak cacat, karena kejadian itu cacat seumur hidup,” keluhnya.
Thiolina mendirikan Isana Dewata, sebuah yayasan yang membantu anak-anak dan janda korban peristiwa bom Bali.
Dia mengadvokasi pembangunan “Taman Perdamaian” sebuah peringatan untuk para korban yang berdiri di tempat di mana Sari Club dulu pernah berdiri.
Trauma berlanjut, memaafkan, dan berdamai
Sementara Erniati yang telah memafkan Umar tidak bisa melarikan diri dari kenyataan bahwa bom Bali telah membuatnya menjadi single parent, dan membesarkan anak sendirian dalam trauma.
Namun dia memilih untuk berdamai dengan kenyataan itu.
“Jangan sampai punya dendam. Saya juga harus bekerja, menjalankan usaha menjahit. Saya merasakan ketika marah, bersedih berhari-hari membuat makin sakit dan terpuruk,” tuturnya.
Erniati masih teringat tragedi 20 tahun itu, bagaimana pada malam kejadian tetangganya menceritakan bahwa ada bom di Sari Club tempat suaminya bekerja, namun dia tidak mau mempercayainya.
“Lama kelamaan saya semakin khawatir, kemudian tiba-tiba ada telepon berbunyi dan itu ternyata dari temannya suami. Dia tanya, ‘Pak Gede sudah pulang?’ Saya jawab, ‘belum’, lalu dia tanya kenapa tidak dicari? Bagaimana saya bisa cari, tidak ada motor, anak tertidur,” kata Erniati.