BATAM – Suasana di sebuah rumah makan di bilangan Nagoya, Batam pada Selasa (21/01/2020) dinihari sepi, hanya ada beberapa pelanggan berada di sana, dan itu pun didominasi oleh pengemudi ojek online yang sedang menunggu orderan.
Di antara para penikmat kuliner malam, tepatnya di depan halaman rumah makan. Muncul seorang pria dengan gitar usangnya sembari berucap ‘permisi’ lalu mulai bernyanyi memecah keheningan malam.
Ya, dia adalah Nelson Ridwan Silaen (40), seorang seniman jalanan atau yang akrab disapa dengan sebutan pengamen. Saat itu, lagu-lagu yang dinyanyikannya membuat hidangan di meja makan terasa lebih nikmat untuk disantap.
Karena merasa tertarik, usai Nelson berkeliling memungut saweran, Swarakepri mencoba melakukan perbincangan dengan pria berperawakan sedang dan memiliki suara serak-serak basah itu.
“Aku bertarung di jalanan sudah 17 tahun. Profesi ini kugeluti karena aku yakin mampu menghibur dan merasa nyaman saat melakukannya,” kata Nelson sang penghibur malam sambil menyeduh kopi tanpa gula yang dipesannya.
Ia mengisahkan, pertarungannya dimulai saat ia masih berumur 23 tahun. Di mana menjadi penyanyi terkenal dan memiliki studio rekaman sendiri adalah impian yang kini masih terus ia coba raih.
Bukan sekedar bermimpi, berbagai cara telah dia lakukan untuk mewujudkannya. Mulai dari berlatih, mencicil membeli alat perlengkapan studio, hingga merekam karya-karya diakuinya sudah pernah dilakukan.
“Nasib tidak ada yang tahu, aku masih berusaha. Saat ini aku lagi fokus bangun studio rumahan sendiri. Dulu alatnya sudah sempat terbeli, tapi karena suatu alasan terpaksa dijual,” kata pria yang mengidolakan kelompok musik Hard Rock Amerika Serikat, ‘Guns N Roses’ itu.
Memang diakui Nelson, kini mimpinya untuk membangun studio memang lebih sulit diwujudkan. Bukan hanya soal umur, tapi karena kondisi wisata kuliner malam di Batam yang semakin sepi dikunjungi wisatawan asing, sementara pengamen makin banyak bermunculan.
“Aku sering ngamen malam, dan kalau ngomong pendapatan sekarang pokoknya pahitlah, tapi ya disyukuri. Bagiku ini bukan soal hasil, tapi jalan hidup,” ujar pria yang mengaku masih hidup melajang sampai saat ini.
Dulu cerita Nelson, dalam satu hari ia bisa mengantongi Rp500 ribu sampai Rp1 juta sekali ngamen. Saweran paling banyak dia dapat dari turis-turis lokal dan mancanegara.
Ia pun percaya para tamu memberi bukan karena kasihan, tapi karena terhibur dengan lagunya. Wajar saja, Nelson memang berbeda dengan pengamen kebanyakan, ia piawai menyanyikan lagu dari berbagai daerah di Indonesia bahkan mancanegara, mulai dari Mandarin hingga Latin ia bisa.
“Bukan sembarangan, aku berlatih agar dapat menghibur. Tak melulu soal uang, tapi ada kebahagian tersendiri buatku ketika melihat orang bereaksi dengan lagu yang kubawakan,” katanya.
Ya, dewasa ini pengamen memang sering dikonotasikan negatif karena dirasa mengganggu dan membuat suara bising yang tidak jelas. Banyak masyarakat merasa terganggu dengan kehadiran mereka.
Padahal sejatinya, ini adalah cara seseorang untuk tampil berkesenian. Pengamen sendiri adalah singkatan dari ‘pengasah mental’. Orang-orang pada tahun 1970-an dulu menggunakan sebutan itu merujuk kepada musisi yang ingin melatih mentalnya bernyanyi di muka umum.
Namun terlepas dari itu semua, kiranya Nelson adalah satu dari sekian banyak pengamen yang membuktikan bahwa ia benar-benar memiliki bakat dalam menghibur, juga tak surut semangat meski diterpa berbagai tanggapan miring dari masyarakat.
“Kalau ditanya moment yang paling sakit saat mengamen, bukan saat diusir atau tidak diberi saweran. Menurutku yang paling sakit itu ketika diabaikan,” kata Nelson pamit melanjutkan perjalanan mewujudkan mimpinya.
(Elang)