Reformasi institusional dapat dilakukan dengan cara menguatkan pengawasan internal dan eksternal Polri. Kemudian instrumental adalah dengan mendiskusikan kembali Pasal 14 ayat 1 dan Pasal 15 ayat 2 Undang-Undang Polri yang memberi amanat besar kepada kepolisian tanpa pengawasan yang kuat.
“Dampaknya adalah tuntutan beradaptasi yang tinggi bagi Polri di lingkungan strategis. Contohnya pembentukan Satgasus Merah Putih,” jelas Nicky Fahrizal.
Aspek terakhir, kata Nicky, yaitu kultural dengan merumuskan kembali profil anggota Polri, penguatan kemampuan kerja, dan intelektual anggota Polri.
Muradi: Reformasi Polri Tidak Perlu
Guru Besar Universitas Padjajaran Muradi mengatakan reformasi Polri tidak perlu dilakukan kembali. Ia beralasan institusi Polri telah melakukan rencana reformasi yang disusun tahun 1999 dan selesai pada 2015. Menurutnya, persoalan yang ada sekarang, seperti Ferdy Sambo, terbilang isu kecil yang hanya mengganggu institusi.
“Saya harus obyektif juga, bahwa dari proses sudah dijalankan. Bahwa ada yang tidak nyaman dan ada faksi-faksi yang dominan di internal Polri. Ini sama dengan di TNI atau institusi lain,” jelas Muradi.
Muradi mencatat setidaknya terdapat lima kasus yang melibatkan lima pejabat tinggi Polri setelah reformasi 1998, antara lain Letter of Credit (LC) fiktif BNI (2005), dana pengamanan Pilkada Jabar (2008), simulator SIM (2012), kasus Djoko Tjandra (2021), dan pembunuhan Brigadir J (2022). Menurutnya, lima kasus tersebut telah diproses secara hukum oleh Polri./VOA
Pingback: Institusi Polri Semakin Tercoreng, Akankah Kepercayaan Publik Terkikis? – SWARAKEPRI.COM