Menurut Annisa, apabila anggota TNI menilai ada yang salah dalam proses penegakan hukum yang dilakukan kepolisian. Maka seharusnya anggota TNI itu mengajukan laporan terkait adanya kesalahan dalam proses penegakan hukum.
“Bukan malah datang mengintervensi aparat penegak hukum,” tandasnya.
KontraS Nilai TNI Intervensi Penegakan Hukum oleh Polisi
Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya, mengatakan tindakan yang dilakukan puluhan anggota TNI itu bukan sebuah langkah koordinasi dengan kepolisian. Namun itu merupakan langkah intimidasi yang pada akhirnya dapat melakukan intervensi terkait proses penegakan hukum.
“Kami mengenal itu sebagai langkah obstruction of justice. Itu merupakan tindakan yang memperlihatkan maupun mempunyai efek dalam memutar balik proses hukum sekaligus mengacaukan fungsi yang seharusnya dalam proses penegakan hukum,” ucapnya.
Kemudian, tindakan yang dilakukan puluhan anggota TNI untuk melakukan intervensi penegakan hukum itu tidak dibenarkan sama sekali. “Itu merupakan langkah-langkah yang tidak dibenarkan dalam konstruksi penegakan hukum. Itu sudah jelas dapat menganggu independensi penegakan hukum dalam hal ini kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik dalam proses tindak pidana yang terjadi di Kota Medan,” kata Dimas.
Bukan hanya itu, kata Dimas, tindakan yang dilakukan puluhan prajurit militer tersebut seakan memperlihatkan arogansi dan watak supremasi dari institusi TNI.
“Itu masih mendarah daging dalam situasi kebatinan yang ada di tubuh institusi TNI. Perlu ada reformasi menyeluruh di tubuh institusi militer. Reformasi di militer juga harus menyentuh akar budaya yang selama ini masih melekat dengan kultur kekerasan di tubuh institusi TNI itu sendiri,” pungkasnya.
SETARA Institute Kritik Sikap Permisif Kodam Bukit Barisan dan Polda Sumut
Ketua Dewan Nasional SETARA Institute Hendardi mengkritisi sikap permisif Kodam Bukit Barisan dan Polda Sumatera Utara sebagaimana ditunjukkan masing-masing juru bicara ketika menjelaskan insiden ini.
Dalam pernyataan tertulisnya, Hendari mengatakan hal ini “akan mendorong normalisasi intimidasi penegakan hukum di banyak sektor,” yang sudah berulangkali terjadi.
Hendardi merujuk kasus di Kupang pada 19 April dan Jeneponto pada 27 April 2023, yang semuanya berakhir dengan pernyataan bersama perwakilan institusi TNI dan Polri. “Sinergi dan soliditas artifisial ini membuat kasus serupa berulang dan tidak pernah diselesaikan dalam kerangka relasi sipil-militer yang sehat dalam negara demokratis dan kepatuhan asas kesamaan di muka hukum dalam kerangka negara hukum,” tegas Hendardi.
Lebih jauh ia menyerukan kepada Kodam I/Bukit Barisan untuk memeriksa potensi terjadinya pelanggaran disiplin dan pemberian sanksi yang setimpal. Sementara institusi Polri diserukan melakukan investigasi duduk perkara yang memicu normalisasi intimidasi penegakan hukum, sehingga dapat memberi pembelajaran secara institusional./VOA