Penyalahgunaan alat sadap Pegasus dinilai menimbulkan konsekuensi yang cukup besar terhadap demokrasi.
JAKARTA — Kolaborasi jurnalis investigasi global, Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP), serta Forbidden Stories mengungkap penyalahgunaan Pegasus. Alat sadap buatan perusahaan asal Israel, NSO Group Technologies, itu disebut telah digunakan untuk memata-matai aktivis, wartawan, dan politisi di berbagai negara.
Pegasus ditengarai telah masuk Indonesia. Konsorsium IndonesiaLeaks yang beranggotakan antara lain Tempo, bersama jaringan jurnalisme global Forbidden Stories, dan Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) telah menemukan indikasi penggunaan Pegasus di Indonesia. Majalah Tempo pekan lalu mempublikasikan analisa empat praktisi teknologi informasi intelijen bahwa Pegasus beroperasi di Indonesia sejak 2018.
Menanggapi pengadaan Pegasus di Indonesia, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto dalam diskusi di Jakarta, Rabu (20/6), menilai laporan yang dilansir IndonesiaLeaks cukup mengejutkan karena laporan itu menegaskan dugaan yang berkembang selama ini bahwa telah terjadi pengintaian di ruang digital.
Laporan IndonesiaLeaks menyatakan Pegasus menarget politisi. Sementara sedangkan Circle menarget wartawan.
Damar menegaskan dalam praktiknya, ada banyak sekali bukti bahwa pengawasan atau pengintaian digital yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi itu unlawfull surveillance, atau pengawasan yang tidak pada tempatnya.
“Pengawasan digital yang tidak pada tempatnya adalah sebuah bentuk pelanggaran hak asasi. Ini adalah sebuah bentuk pelanggaran hak digital yang cukup serius kalau ini kemudian dilakukan secara sengaja dan ditargetkan untuk hal yang dikaitkan dengan perampasan hak privasi dan merusak sistem demokrasi.
Semua perangkat digital yang disalahgunakan, tambahnya, merupakan perampasan terhadap hak atas rasa aman.
Menurutnya sekalipun undang-undang mengamini terjadinya penyadapan. namun belum ada kejelasan soal siapa yang akan mengawasi para pengintai tersebut. Belajar dari pengalaman 14 aktivis di Thailand yang disadap menggunakan Pegasus, mereka saat ini sedang mengajukan gugatan perdata terhadap NSO Group sebagai produsen Pegasus dan gugatan pidana terhadap kepolisian Thailand yang memakai Pegasus untuk mengintai para aktivis.
Damar menekankan laporan IndonesiaLeaks seharusnya mendorong ada mekanime hukum untuk mengawasi para pengintai di ruang digital guna menjamin hak privasi dan ruang demokrasi di Indonesia.
AJI: Pegasus Tak Sekadar Mengintai
Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Ika Ningtyas mengatakan laporan yang dilansir oleh Confident Storie dan Amnesty International mengungkap penyalahgunaan Pegasus oleh 18 negara. Yang menjadi target adalah 50 ribu nomor, dan sebagian besar sasaran adalah aktivis HAM, oposisi politik, wartawan, dan kelompok kritis lainnya.
Dia menegaskan penyalahgunaan alat sadap Pegasus tidak sekadar mengintai, tapi memberikan konsekuensi yang cukup besar terhadap demokrasi. Dia mencontohkan kolumnis surat kabar the Washington Post Jamal Khashoggi yang dilacak aktivitas dan keberadaannya lewat Pegasus.
Ika menjelaskan yang terancam keselamatannya bukan saja mereka yang menjadi target, tetapi juga keluarga, narasumber, dokumen-dokumen investigasi, kolega, dan teman-teman lainnya. Hal ini akan menghambat kerja jurnalis untuk mengungkap kasus-kasus kejahatan terkemuka.
Dia mencontohkan Parlemen Uni Eropa, yang membentuk tim investigasi untuk mengetahui bagaimana negara-negara pembeli Pegasus menggunakan alat sadap tersebut. Kesimpulannya, penggunaan alat sadap itu harus dihentikan hingga adanya aturan jelas yang mengatur batasan, akuntabilitas, dan transparansi dalam pengadaan alat sadap.
“Kami mendesak supaya diumumkan secara transparan melalui tim independen, mengungkap pengadaan alat-alat (sadap) tidak hanya Pegasus. Tim khusus seharusnya dibentuk oleh negara untuk menyelidiki sejauh apa pengadaan alat-alat pengintaian, seberapa banyak anggaran yang digunakan, alat-alat (sadap) ini digunakan di lembaga mana saja, pihak-pihak mana yang telah ditagerkan oleh alat ini,” ujar Ika.
AJI Indonesia menuntut operator layanan seluler dan produsen telepon seluler meningkatkan standar keamanan digital produknya, dengan mengikuti perkembangan teknologi peretasan atau penyadapan terbaru. AJI Indonesia mendesak dibentuknya badan pengawas terhadap lembaga-lembaga yang menggunakan alat pengintaian.
ICW: Tak Pernah Ada Informasi Terbuka Soal Pegasus
Dalam diskusi pada Selasa itu, peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah menjelaskan patut diduga alat sadap Pegasus ini mengancam demokrasi di Indonesia. Sebab tidak pernah diketahui bagaimana penegak hukum menggunakan Pegasus tersebut.
Wana menambahkan masyarakat tidak pernah mendapat informasi mengenai pengadaan Pegasus, siapa yang menggunakan, dan untuk apa saja digunakan. Dia mencontohkan sejak 2019 hingga 2022 banyak telepon aktivis yang kritis terhadap pemerintah diretas.
ICW berharap pihak berwenang tidak menggunakan Pegasus untuk menyerang pihak oposisi menjelang Pemilihan Umum 2024. Karena itu, ICW akan meminta dokumen pengadaan Pegasus kepada kepolisian.
Menurut laporan IndonesiaLeaks, selain Polri, Badan Intelijen Negara (BIN) diyakini pernah menggunakan Pegasus. Salah satu praktisi teknologi informasi intelijen mengaku pernah dimintai bantuan oleh BIN untuk mengoperasikan Pegasus.
Kepala Divisi Teknologi, Informasi, dan Komunikasi Polri Inspektur Jenderal Slamet Uliandi membantah lembaganya pernah membeli dan menggunakan Pegasus. Namun dia mengakui lembaganya pernah menggunakan alat sadap bermetode zero-click. Sementara BIN belum merespons soal laporan IndonesiaLeaks terkait penggunaan Pegasus./VOA