Semua Mesti Taat Asas
Kekhawatiran bahwa polemik Partai Prima ini terkait dengan upaya menunda Pemilu, juga diamini Farid Bambang Siswantoro, Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Yogyakarta.
“Di luar memang santer suara-suara begitu. Tapi, meminjam istilah lama, itu merupakan langkah subversif karena menyelisihi UUD. Putusan PN Jakarta Pusat itu salahnya bukan hanya nyeberang ranah, tapi juga subversif,” ucap Bambang kepada VOA.
Dia menambahkan, “Jelas kita prihatin terhadap gagasan membangkang dari UUD itu. Secara tegas, hukum negara harus pro-aktif ditegakkan.”
Karena itulah, Bambang yang juga mantan komisioner KPUD DI Yogyakarta ini meminta penyelenggara pemilu tidak main-main dan harus taat asas dalam bekerja. Ketaatan, konsistensi dan penegakan etika serta aturan itu, harus dilakukan dari atas sampai bawah tanpa terkecuali.
“Setiap unsur wajib melawan jika ada yang menyelisihi prinsip itu,” sambungnya.
Jika seluruh pihak terkait taat asas dalam bekerja, Bambang meyakini dukungan akan datang dari semua pihak. Tidak hanya itu, konsekuensi yang mungkin timbul juga pasti akan ditanggung bersama.
“Berani melawan ajakan atau perintah menyelewengkan aturan itu, pada saatnya akan membuat mereka yang hendak menyeleweng, berpikir ulang. Berani karena benar itu efektif, untuk membuat baik masyarakat kita,” tandasnya.
Pada titik saat ini di mana banyak pihak masih gamang mencari kesepakatan jalan keluar, menurut Bambang, Mahkamah Agung harus mengambil peran. Sebelum suasana menjadi semakin keruh, MA harus menerbitkan surat edaran atau PerMA yang menegaskan ranah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi dalam soal-soal terkait sengketa Pemilu.
DPR Gerah
Apa yang terjadi tentu membuat gerah DPR. Anggota Komisi II, Arif Wibowo menyebut putusan Bawaslu yang tidak konsisten menjadi bagian dari upaya menunda pemilu.
“Ini tentu bisa dibaca, bertaut erat dengan adanya dorongan yang kuat untuk dilakukannya, berdasarkan keputusan politik tentu, apa yang disebut sebagai penundaan pemilu. Sebagai orang politik, tentu saya akan mengaitkan itu,” ujar Arif dalam rapat DPR bersama Kementerian Dalam Negeri, KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Senin (3/4).
Dia mengingatkan, konsekuensi hukum proses ini bisa sangat panjang. Kelak, bisa saja muncul gugatan ke pengadilan negeri, terkait anggota DPR yang dilantik atau presiden dan wakil presiden terpilih. Padahal seluruh proses terkait pemilu hanya bisa digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau Mahkamah Konstitusi.
Rekan Arif di Komisi II, Komarudin Watubun, bahkan langsung menilai Bawaslu terlibat dalam upaya menunda pemilu.
“Saya anggap Bawaslu ini bagian dari konspirasi penundaan pemilu. Sebagai politisi, saya anggap kalian bagian dari konspirasi itu,” kata Komarudin.
Alasan yang dia kemukakan, dalam sistem hukum yang ada jelas pengadilan negeri tidak bisa mengadili kasus terkait pemilu. Namun, ketika PN Jakarta Pusat membuat keputusan, Bawaslu yang seharusnya menolak putusan itu, justru mendukung dan meminta KPU mengulang proses verifikasi.
Sementara Ketua Komisi II Ahmad Doli Kurnia Tanjung menyayangkan, persoalan muncul ketika KPU, Bawaslu dan DKPP sebenarnya sudah dibekali dasar hukum yang kuat, seperti UU Pemilu.
“Ini memunculkan labirin baru. Kekusutan baru, yang harus kita urai,” kata Doli.