Bambang Soesatyo dan La Nyalla memberi alternatif untuk menangguhkan pemilu ke tahun 2027, atau tetap menyelenggarakan pemilu pada tahun 2024 dengan memberi kesempatan Jokowi bertarung untuk ketiga kalinya.
Mengingat posisi Bambang Soesatyo sebagai Ketua MPR yang berwenang mengubah Undang-Undang Dasar, pandangannya itu perlu dibahas. Sementara pandangan La Naylla menurutnya tidak mencerminkan aspirasi publik.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Jakarta itu mengatakan survei SMRC pada bulan Mei dan September 2021, juga pada Maret dan Oktober 2022, menunjukkan mayoritas publik ingin mempertahankan ketentuan masa jabatan presiden hanya dua kali, dan masing-masing selama lima tahun.
Dalam empat kali survei tersebut, rata-rata 77% publik ingin aturan itu dipertahankan. Hanya 13% responden yang ingin mengubahnya.
“Statement itu bertentangan atau tidak mencerminkan aspirasi publik. Di satu sisi, kinerja Presiden Jokowi memang bagus. Tapi apakah bagusnya kinerja Presiden Jokowi itu membuat publik menginginkan agar dia dikasih wewenang untuk kembali berkuasa dengan mengubah konstitusi atau dikasih tambahan kekuasaan tiga tahun lagi,” ujar Saiful.
Dua pengamat politik dan akademisi yang dihubungi VOA masih enggan mengomentari hasil survei SMRC itu, meskipun jelas tampak pemilih di Indonesia semakin rasional dengan mendukung kinerja presiden tetapi bersikukuh mempertahankan masa jabatan presiden hanya dua kali sesuai aturan hukum.
Presiden Joko Widodo sendiri sejak munculnya wacana masa jabatan presiden menjadi tiga periode, sudah berulangkali menyerukan agar semua pihak taat pada konstitusi.
“Yang namanya keinginan masyarakat, yang namanya teriakan-teriakan seperti itu kan sudah sering saya dengar. Tetapi yang jelas, konstitusi kita sudah jelas. Kita harus taat, harus patuh terhadap konstitusi,” tegas Presiden seusai Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, 30 Maret 2022./VOA