Tidak Netral Gender
Analisa serupa, disampaikan Rachmad Hidayat, dosen Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada (UGM). Di kampus, Rachmad mengajarkan kuliah feminisme, teori-teori sosial, dan teori post-modernisme.
Rachmad menegaskan, KDRT adalah kekerasan gender, yang tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang netral. Karena dimensi gendernya itu, kata Rachmad, ketika laki-laki menjadi korban, biasanya itu adalah bentuk retalitation atau pembalasan dari perempuan yang tidak bisa lagi menerima kekerasan yang intens. Perempuan atau istri cenderung tidak melaporkan kekerasan yang menimpanya, dengan berbagai pertimbangan, lalu melakukan pembalasan.
“Nah, karena laki-laki lebih mudah mengakses layanan, lebih mudah ke polisi, lebih nyaman dengan situasi maskulin di layanan publik, mereka lebih mudah lapor. Sehingga lebih tercatat kasusnya daripada perempuan yang menyerang mereka, yang sebenarnya adalah korban pertama,” ujarnya.
Dari sisi yang berbeda, Rachmad juga mencatat kemauan laki-laki atau suami untuk melakukan konseling terkait KDRT, sangat rendah. Rachmad yang juga pernah aktif di lembaga pendampingan mengaku, kalaupun ada, laki-laki mau menerima pendampingan konseling karena tuntutan hukum.
“Karena sangat tidak tidak maskulin bagi mereka untuk melapor, apalagi sebagai pelaku,” kata dia memberi alasan.
“Kadang-kadang, ada sedikit kasus, di mana konseling itu dilakukan karena pengadilan atau polisi memaksa mereka. Itu menjadi bagian dari proses hukum, dan biasanya laki-laki sekadar menjalankan, ada banyak denial,” lanjutnya./VOA