Bale Bayan: Rumah Adaptif Tahan Gempa di Lombok Utara

Tim peneliti merekomendasikan Bale Bayan sebagai acuan pembangunan rumah di Lombok Utara. (Foto: Tim Peneliti)

Riset Empat Mahasiswa

Kemampuan rumah adat bertahan dari gempa menarik minat empat mahasiswa Universitas Gadjah Mada untuk melakukan kajian lebih dalam. Mereka adalah Adji Saiddinullah, Herkin Yosyafaat, Ubaidillah Hanif, dan Rhiza Perdana Aliansyah dengan bimbingan Alia Fajarwati selaku dosen.

Adji Saiddinullah, koordinator tim penelitian ini memaparkan sejarah membuktikan kearifan lokal Bale Bayan berperan penting dalam pengurangan risiko bencana, khususnya gempa bumi di masyarakat adat Sasak Bayan.

“Ini terbukti. Ketika gempa Lombok 2018 terjadi, tidak satu pun rumah adat roboh akibat gempa. Sementara ada 2.503 rumah modern yang hancur di Desa Senaru, Bayan, dan Sukadana,” kata Adji menyebut tiga desa sebagai lokasi penelitian.

Seorang pria memeriksa reruntuhan rumahnya yang hancur akibat gempa di Lombok Utara, 9 Agustus 2018. (Foto: AP)

Adji memaparkan, ditinjau dari konteks pengurangan risiko bencana, kearifan lokal Bale Bayan mengandung nilai-nilai mitigasi bencana struktural dan non-struktural. Mitigasi bencana non-struktural terwujud dalam empat dimensi, yaitu pengetahuan, nilai, pengambilan keputusan, dan solidaritas kelompok. Sedangkan mitigasi bencana struktural, diwujudkan melalui konstruksi fisik bangunan Bale Bayan yang tahan gempa.

“Masyarakat adat Sasak Bayan memiliki pengetahuan terkait kebencanaan yang teraktualisasi melalui pemahaman mereka tentang kondisi wilayahnya yang rentan terjadi gempa bumi,” papar Adji, mahasiswa Perencanaan Wilayah, di Fakultas Geografi UGM.

Kawasan adat Sasak Bayan, dan Pulau Lombok secara umum, memang berada pada wilayah yang sering mengalami gempa bumi. Berdasar rekaman data badan geologi Amerika Serikat (USGS) tahun 1979 hingga 2021, tercatat 103 hiposenter gempa dengan besaran lebih dari 4,5M, di wilayah utara Pulau Lombok. Wilayah ini memang berdekatan dengan zona back arc thrust yang memicu gempa.

Sebuah rumah kayu di Desa Prawira, Lombok Utara, masih utuh pascagempa.

Ditambahkan peneliti yang lain, Herkin Yosyafaat, pemahaman terkait kondisi wilayah telah membentuk pengetahuan lokal yang disebut lindur boyot.

“Lindur berarti gempa, sedangkan boyot berarti guncangan yang sangat besar. Ketika terjadi gempa bumi, warga berteriak “lindur boyot”, kemudian menyelamatkan diri dan berkumpul di kompleks perkampungan adat, yang dianggap sebagai tempat yang paling aman dari reruntuhan bangunan,” kata Herkin yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum UGM.

Page: 1 2 3 4 5

Redaksi - SWARAKEPRI

Recent Posts

Inovasi Pengembangan Infrastruktur, BP Batam Dianugerahi Awarding tvOne

BATAM - Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) mendapatkan Penghargaan Inovasi Pengembangan Infrastruktur dalam Malam Penganugerahan…

14 jam ago

BRI-MI Raih Penghargaan sebagai The Most Popular Brand of the Year 2024

BRI Manajemen Investasi (BRI-MI) kembali menorehkan prestasi. Kali ini, BRI-MI diganjar penghargaan yang diberikan oleh…

17 jam ago

BP Batam – Kemenhub Gelar Sosialisasi Penyusunan SKP

BATAM - Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) melalui Biro Sumber Daya Manusia (SDM) bersama Kementerian…

1 hari ago

BP Batam Evaluasi Kinerja dan Target Capaian Penerimaan, Pendapatan dan Belanja Badan Usaha Tahun 2024

BATAM - Direktorat Peningkatan Kinerja dan Manajemen Risiko BP Batam mengadakan rapat kerja Rencana Strategis…

1 hari ago

BEI, Catat Perusahaan Baru Terbanyak di ASEAN

Jakarta - Sebagai tempat berlangsungnya transaksi perdagangan efek di pasar modal, Bursa Efek Indonesia (BEI)…

2 hari ago

BP Batam Dukung Sinergi Pengelolaan dan Penataan Kewenangan Kepelabuhanan di KPBPB Batam

BATAM - Batam, 19 September 2024 – Dalam rangka mendukung pelaksanaan monitoring dan evaluasi kebijakan…

2 hari ago

This website uses cookies.