Beberapa minggu ini tensi seteru antara Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi (Kadiskominfo) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), Hasan dengan sebagian praktisi media di Kepri belum juga menurun.
Dikalangan media, permasalahan yang dipicu oleh salah satu pemberitaan tentang statemen Kadis ini masih sangat hangat diperbincangkan.
Dalam berita tersebut, statemen Kadis yang sarat sekali mendiskreditkan profesi media secara terus terang. Maklum saja kalau akhirnya sebagian praktisi media merasa tersinggung.
Sebagai bentuk ketersinggungan atas statemen itu, muncul banyak respon pemberitaan dari praktisi-praktisi media dalam bentuk kekecewaan.
Kadis Hasan pun akhirnya angkat bicara terkait polemik ini. Secara garis besar, ia menolak tudingan pemberitaan yang memuat statemen “miring-nya” terhadap media.
Dalam pemberitaan yang memuat klarifikasinya, Hasan merasa bahwa dirinya tidak pernah diwawancarai oleh media yang memuat berita tersebut. Diberita yang sama, Hasan juga menyarankan agar peliputan berita mengacu pada kode etik jurnalistik.
Dilain sisi, pembicaraan dikalangan praktisi media mengerucut adanya bukti rekaman mengenai statemen Kadis Hasan
sebagaimana yang ditulis dalam pemberitaan awal.
Jika benar rekaman diperoleh wartawan saat wawancara, alangkah tidak bijaknya perkataan seorang Kadis tingkat provinsi ini.
Namun jika bukti rekaman itu bukan dalam bentuk wawancara, maka Pak Kadis perlu menjaga lisan agar tidak menyinggung profesi-profesi tertentu sehingga dapat menimbulkan kegaduhan yang sebenarnya tidak perlu.
Lisan itu bisa menggerakkan juga bisa menghancurkan.
Terlepas ada atau tidaknya rekaman perkataan yang menjadi biang keributan, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam 9 elemen jurnalisme + 1 (2001) mengemukakan bahwa esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi.
Verifikasi statemen dari seorang narasumber itu sangat penting sebelum berita itu sendiri dipublis. Sehingga dalam hal ini tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas terbitnya sebuah berita.
Bahkan jika seorang narasumber keberatan dengan pemuatan statemennya, jurnalis wajib menghormati keberatan tersebut.
Disiplin verifikasi akan membuka sebanyak mungkin sumber berita dan berfokus untuk menceritakan apa yang terjadi sebenar-benarnya. Atau dalam istilah umum dikenal sebagai objektivitas sebagai bentuk metode dalam meliput berita.
Selain itu jurnalis juga dituntut untuk menjaga agar pemberitanya komprehensif dan proporsional. Hal ini adalah kunci akurasi sekaligus membantu dalam memahami secara lebih baik ide keanekaragaman dalam berita.
Tugas utama jurnalistik adalah menyampaikan kebenaran agar masyarakat memperoleh informasi yang dibutuhkan untuk berdaulat. Bentuk “kebenaran jurnalitsik” yang dimaksud bukan sekedar akurasi melainkan kebenaran yang praktis dan fungsional.
Kebenaran ini tentunya bukanlah kebenaran mutlak. Namun suatu proses sorting-out (menyortir) yang berkembang antara cerita awal, dan interaksi antara publik, sumber berita dan jurnalis dalam waktu tertentu.
Sehingga kebenaran yang diperoleh jurnalis tanpa dilandasi kepentingan tertentu (disinterested pursuit of truth).
Jika jurnalistik ini diumpamakan sebilah pisau, apabila diasah terlalu tajam sementara kita tidak ahli dalam memainkannya, maka pisau itu dapat melukai diri sendiri juga melukai orang lain.
Dalam masalah ini, masing-masing pihak perlu menurunkan tensi. Dan akan lebih baik jika saling bertemu supaya masalah tidak makin berlarut-larut.
Tidak ada masalah yang tak bisa diselesaikan. Kuncinya adalah bertemu dan berkomunikasi.
Penulis: Sholihul Abidin, S.Sos.I., M.I.Kom. (Akademisi Ilmu Komunikasi dan Sekretaris IWO Kepri)