Categories: BATAMKEPRIOPINI

Jurnalistik dalam Perspektif Keilmuan dan Tantangan Sertifikasi Wartawan

Oleh: Sholihul Abidin, S.Sos.I. M.I.Kom (Dosen Jurnalistik)

Di era banjirnya informasi saat ini, peran wartawan menjadi semakin krusial. Wartawan bukan sekedar pembawa kabar melainkan menjadi penentu arah diskursus publik dan bahkan sebagai penjaga akal sehat kolektif. Dalam konteks ini, pertanyaan penting yang muncul yaitu apakah memiliki sertifikat uji kompetensi cukup untuk menjadikan seseorang sebagai jurnalis profesional?

Beberapa tahun terakhir, Uji Kompetensi Wartawan (UKW) menjadi standar formal yang digunakan untuk mengukur kelayakan seorang wartawan. Sertifikat hasil UKW dianggap sebagai bukti bahwa jurnalis tersebut memenuhi syarat bekerja secara profesional.

Namun, jika kita menengok ke akar keilmuan jurnalistik dan realitas lapangan, maka penting untuk menilai ulang apakah sertifikasi bisa berdiri sendiri sebagai penanda kompetensi dan integritas?

Jurnalistik sebagai Ilmu dan Praktik

Jurnalistik bukan hanya kegiatan teknis mengumpulkan informasi lalu menuliskannya menjadi berita. Ia adalah bagian dari ilmu komunikasi yang menuntut kemampuan berpikir kritis, memahami konteks sosial, menafsirkan peristiwa, dan menyajikan fakta secara etis dan akurat. Dengan kata lain, jurnalistik adalah profesi yang berbasis ilmu, bukan sekadar keahlian praktis.

Dalam perspektif akademik, jurnalisme memiliki metodologi kerja, etika profesi, serta logika penulisan yang terstruktur. Seorang jurnalis yang baik tidak cukup hanya bisa menulis cepat, tetapi juga harus mampu menilai kredibilitas sumber, mengenali bias narasi, serta menjaga keberimbangan dalam menyusun berita. Profesi ini menuntut kombinasi dari wawasan, intuisi sosial, dan keberanian moral.

Sertifikasi Penting, Tapi Bukan Segalanya

UKW hadir sebagai upaya menjaga kualitas dan profesionalisme jurnalis. Tujuannya mulia. Menghindarkan dunia pers dari disinformasi, wartawan abal-abal, atau mereka yang menyalahgunakan identitas pers untuk kepentingan pribadi. Dengan UKW, diharapkan lahir standar yang seragam dalam menjalankan fungsi jurnalistik.

Namun akan menjadi keliru jika kita memposisikan sertifikasi sebagai satu-satunya alat ukur. Kompetensi jurnalis tidak bisa diringkas dalam satu kali uji tulis dan wawancara. Ada banyak wartawan di lapangan terutama di daerah yang belum memiliki sertifikasi, tapi secara praktik mampu bekerja dengan etis, profesional, dan berani menyuarakan kebenaran di tengah tekanan. Maka penting bagi kita untuk tidak serta-merta memarginalkan wartawan non-sertifikasi yang memunculkan narasi seolah-olah mereka tidak kompeten.

Sebaliknya, kita juga melihat tidak sedikit wartawan bersertifikasi yang kemudian terjebak dalam konflik kepentingan, tunduk pada tekanan kekuasaan, atau memproduksi berita tanpa verifikasi yang memadai. Artinya, sertifikat bukan jaminan mutlak atas kualitas atau integritas kerja jurnalistik.

Jebakan Sertifikatisme dalam Dunia Pers

Jika tidak disikapi bijak, semangat sertifikasi bisa berubah menjadi “sertifikatisme” yaitu kecenderungan menilai seseorang hanya dari status formal yang ia miliki namun bukan dari integritas, pengalaman, atau dedikasinya. Ini bisa menimbulkan stratifikasi sosial dalam redaksi atau komunitas pers—antara yang sudah UKW dan yang belum—padahal keduanya bisa sama-sama berkompeten.

Sertifikatisme juga berpotensi menutup ruang belajar alami dalam jurnalisme. Banyak wartawan senior yang belajar melalui kerja lapangan, mentoring rekan sejawat, dan pengalaman panjang, justru merasa direndahkan ketika tidak memiliki sertifikat. Sementara wartawan muda yang baru lulus uji, bisa merasa sudah “sah” menjalankan profesi

Sertifikasi yang Inklusif dan Berorientasi Pembelajaran

Idealnya, UKW tidak menjadi alat pembatas, tetapi menjadi pintu pembelajaran. Sertifikasi seharusnya dirancang untuk membangun ekosistem jurnalisme yang lebih sehat, bukan sebagai ajang seleksi formalitas. Oleh karena itu, pendekatan yang inklusif dan mendidik sangatlah penting.

Negara, Dewan Pers, dan lembaga penyelenggara UKW memiliki tanggung jawab untuk memastikan akses pelatihan yang merata, termasuk untuk wartawan di daerah. Kemudian menyediakan program persiapan yang tidak mahal dan tidak eksklusif. Serta mengembangkan materi uji yang sesuai dengan tantangan jurnalistik masa kini, termasuk isu digitalisasi, disinformasi, dan tekanan terhadap kebebasan pers.

Redaksi juga harus menumbuhkan budaya belajar berkelanjutan. Diskusi etika redaksi, pelatihan internal, dan praktik evaluasi bersama seharusnya menjadi bagian dari keseharian, bukan sekedar mengandalkan pelatihan eksternal bersertifikat.

Ujian yang Sesungguhnya Adalah Ujian Nurani

Ujian terberat bagi wartawan bukanlah UKW, melainkan ujian Nurani. Ketika dihadapkan pada dilema antara menyuarakan kebenaran atau menyenangkan atasan. Antara melindungi narasumber atau memenuhi tekanan sponsor. Antara menjaga idealisme atau tunduk pada tren industri. Dalam situasi seperti ini, yang dibutuhkan bukan sekadar kompetensi teknis, tetapi integritas pribadi.

Media kita saat ini tidak hanya membutuhkan wartawan yang tersertifikasi tapi juga wartawan yang punya sikap. Wartawan yang berani berkata “tidak” pada amplop, tetap bersuara untuk kelompok marginal, dan menjaga independensinya meski tak populer. Karena pada akhirnya, keberanian dan kejujuran adalah inti dari jurnalisme.

Profesionalisme Itu Butuh Proses

Sertifikasi adalah langkah penting, tapi bukan akhir dari segalanya. Dunia jurnalisme yang sehat dibangun oleh wartawan yang terus belajar, terus bertumbuh, dan terus menjaga nuraninya di tengah tantangan zaman. Tidak ada jurnalis yang sempurna, tetapi setiap jurnalis bisa menjadi lebih baik jika ruang belajarnya tidak dipersempit oleh batas administratif.

Mendorong UKW sebagai standar kompetensi adalah langkah maju, asalkan dilakukan secara adil, terbuka, dan tidak menyingkirkan mereka yang belum mengikutinya. Karena yang kita butuhkan bukan hanya jurnalis yang “lulus ujian” atau kompeten secara administrative. Tapi yang lulus dari uji kejujuran, keberanian, dan komitmen terhadap kebenaran. Yaitu berani secara moral, cakap secara intelektual, dan jujur secara etik.

Karena dalam dunia yang penuh kebisingan ini, satu-satunya alat kendali yang bisa diandalkan tetaplah nalar, etika, dan keberanian berkata benar.**

Redaksi - SWARAKEPRI

Recent Posts

Domain Incaran Diambil Orang? Pakai Domain Backorder Dewabiz!

Terkadang, kita menemukan bahwa domain incaran kita telah diambil orang lain. Namun, kini Anda tidak…

2 jam ago

Menyenangkannya Kuliah di Jurusan Informatika: Memahami Dunia Digital Lebih Dalam

Jurusan Informatika sering kali dianggap sebagai salah satu jurusan di SATU UNIVERSITY yang menantang. Namun,…

3 jam ago

Kejati Kepri dan BPJS Ketenagakerjaan Teken MoU soal Penanganan Hukum Datun

KEPRI - Untuk meningkatkan sinergitas dan optimalisasi pelaksanaan tugas antara lembaga, Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau…

11 jam ago

OMS Menang Gugatan Soal Kapal MT Arman 114, Ini 6 Amar Putusan Hakim PN Batam

BATAM - Pengadilan Negeri Batam mengabulkan gugatan perdata Ocean Mark Shipping Inc(OMS) melawan Pemerintah RI…

12 jam ago

BRI Finance Gandeng Komunitas Motor Gelar Program TJSL di Rumah Yatim Dhuafa

Dalam upaya penerapan prinsip-prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG), PT BRI Multifinance Indonesia (“BRI Finance”)…

12 jam ago

Dari Satu ke Puluhan Ribu Projek: Kisah Sribu Bangun Ekosistem Freelancer Terbesar di Indonesia

Dimulai dari ide sederhana pada tahun 2011, Sribu kini memfasilitasi ribuan proyek digital dan membantu…

12 jam ago

This website uses cookies.