Jika kargo dikembalikan, negara tidak hanya kehilangan barang bukti yang vital, tetapi juga kehilangan aset yang dapat dilelang untuk menutupi biaya pemulihan lingkungan “Jika memang benar terjadi pencemaraan seperti yang diungkap dalam perkara pidana”. Hal ini tentu menempatkan beban finansial kejahatan pada masyarakat dan pemerintah, bukan pada pihak yang seharusnya bertanggung jawab.
Dalam penegakan hukum, kita tidak bisa hanya melihat dokumen kepemilikan. Sebuah kapal bernilai fantastis mustahil digunakan untuk tindak pidana tanpa sepengetahuan pemilik. Kepemilikan berarti kendali, dan kendali membawa tanggung jawab hukum.
Klaim pihak ketiga sebenarnya adalah upaya mengeksploitasi celah antara hukum pidana lingkungan, yang menghukum nahkoda, dan hukum perdata, yang melindungi hak milik seakan-akan aset tersebut tidak terlibat dalam tindak pidana tersebut.
Mereka mencoba memisahkan kargo dari tindak pidana, padahal dari putusan pidana jelas ini merupakan bagian dari kejahatan tersebut. Ini sama saja dengan meminta pengembalian pisau setelah kejahatan penusukan, hanya karena pisau tersebut tidak “bersalah” secara kepemilikan.
Kasus serupa dapat dilihat di Australia misalnya, ketika pemerintah mengambil sikap tegas dalam menindak pencemaran laut oleh kapal asing. Dalam beberapa kasus kebocoran minyak seperti kapal Iron Baron di Port Newcastle tahun 1997, pengadilan Australia menjatuhkan denda besar kepada pemilik kapal, nakhoda, bahkan hingga charterer.
Minyak yang tumpah dan kapal yang terlibat diperlakukan sebagai barang bukti, dan pemilik kapal tidak bisa serta-merta menghindar dengan alasan dokumen kepemilikan. Prinsip strict liability diterapkan: Siapa pun yang mengoperasikan kapal bertanggung jawab penuh, tanpa harus menunggu pembuktian niat jahat.
Selain itu, dari sisi akademisi, perkara ini juga harus dilihat melalui mekanisme penyelesaian yang mengarah pada kemanfaatan, pengembalian kapal dan muatannya dapat dipandang sebagai langkah diplomasi yang strategis.
Penegakan hukum tidak selalu harus berakhir pada penyitaan aset, dalam kondisi tertentu, pengembalian kapal justru memberi manfaat lebih besar. Pertama, secara diplomatik, hal ini dapat meredam potensi ketegangan bilateral sekaligus membuka ruang kerja sama maritim di masa depan.
Kedua, secara ekonomi, negara dapat memperoleh denda besar sebagai kompensasi tanpa harus menanggung biaya tinggi perawatan dan penyimpanan kapal sitaan.
Ketiga, dari aspek hukum, pengembalian kapal menjunjung keadilan dengan tetap menghukum pelaku langsung nakhoda dan kru serta menghindari sengketa perdata dengan pihak ketiga yang beritikad baik.
Tentu, langkah ini tidak boleh dimaknai sebagai pembebasan pihak terkait dari tanggung jawab hukumnya, dalam artian pihak terkait tetap memenuhi tanggungjawab berupa kerugian yang ditimbulkan.
Perkara kapal tanker MT Arman 114 menjadi ujian serius bagi arah penegakan hukum Indonesia. apakah negara akan menegakkan hukum secara tegas demi menjaga kedaulatan dan kredibilitas sistem peradilan, atau memilih jalur kemanfaatan diplomatik dan ekonomi yang lebih pragmatis? Keputusan inilah yang akan menentukan wajah politik hukum maritim Indonesia di mata dunia.**

Pingback: Surat Kuasa Pengacara Concepto Mendadak Dicabut, Bagaimana Lanjutan Sidang Sengketa Kargo MT Arman 114? – SWARAKEPRI.COM