JAKARTA – Kuasa Hukum Koperasi Produsen Petani Sawit Makmur(KOPPSA-M) telah melaporkan Tiga Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bangkinang yang memimpin persidangan gugatan perdata PT Perkebunan Nusantara(PTPN) IV Regional III ke Badan Pengawas Mahkamah Agung(MA) dan Komisi Yudisial(KY).
“Kita minta Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk mengikis semua perilaku hakim non-integritas yang ada di lembaga peradilan di tanah air,” kata Ketua Tim Kuasa Hukum KOPPSA-M, Armilis Ramaini, S.H, Armilis seperti dalam siaran pers yang diterima SwaraKepri, Jumat 30 Mei 2025.
Seperti diketahui, pada Rabu (28/5) lalu, Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Bangkinang mengabulkan gugatan PTPN IV atas klaim dana talangan sebesar 140 miliar rupiah dan sita terhadap tanah masyarakat Pangkalan Baru anggota Koperasi KOPPSA-M.
Menurut Armilis, putusan tersebut jauh dari rasa keadilan, tidak saja membuat petani merasa tertindas, juga aneh bin ajaib. Dalam putusan tersebut memerintahkan anggota koperasi yang sudah meninggal harus ikut membayar dana talangan itu.
“Makanya, majelis hakim-nya kami laporkan ke Bawas MA dan KY. Kita tidak ingin masyarakat pencari keadilan menjadi korban susulan oleh para hakim bermental korup seperti ini,” tegasnya.
Armilis menyebut, jauh-jauh hari sebenarnya, pihaknya sudah memprediksi lahirnya putusan aneh yang memenangkan PTPN atas petani anggota KOPPSA-M itu. Sebab dari semua prosesi dan tahapan persidangan selama ini, majelis hakim dianggap berpihak kepada penggugat.
“Tidak mungkin kan, proses persidangan yang berpihak melahirkan putusan yang adil. Itu respon pertama kami atas putusan itu,” katanya.
Meski demikian, Armilis mengatakan pihaknya wajib menghormati putusan pengadilan. Tetapi, katanya, perilaku hakim yang diduga jauh dari sikap adil, juga harus dilawan.
“Sikap otoriter dan berat sebelah inilah, yang selalu dipertontonkan majelis. Baik saat sidang lapangan, maupun pemeriksaan saksi-saksi,” tegas Armilis.
Ia mengungkapkan bahwa selama proses persidangan majelis hakim dinilai membatasi hak-hak tergugat saat sidang lapangan (PS) dan pembatasan pada saksi yang hanya diberi dua kali kesempatan untuk bersaksi.
Sebenarnya kata dia, pihak Pengadilan Tinggi Riau sempat turun memantau dan mengawasi langsung persidangan. Sayangnya, kala persidangan didampingi pengawasan itu, proses persidangan sudah di penghujung. “Jadi praktis, terawasi hanya dua kali sidang,” katanya.
Kata Armilis, majelis hakim juga dinilai tidak menghargai keterangan Saksi Ahli. Baik Saksi Ahli dari Kementerian tentang koperasi maupun Saksi Ahli pihak Akademisi.
