BALI – Dua puluh tahun setelah bom Bali, sebagian dari korban yang selamat telah berdamai dengan luka dan pedihnya kehilangan orang yang mereka cintai, serta beberapa telah memaafkan para militan yang melakukan serangan yang menewaskan 202 orang itu.
Namun kabar bahwa Umar Patek, terpidana yang membantu merakit bom yang digunakan dalam aksi terorisme paling mematikan di Indonesia itu, mungkin dibebaskan karena perilaku baik, telah membuat luka itu kembali terkoyak.
Ni Luh Erniati, yang kehilangan suaminya Gede Badrawan dalam bom Bali pada 12 Oktober 2022 itu, mengatakan dia bertemu Umar di penjara Porong, Jawa Timur, bulan lalu, sebagai bagian dari program deradikalisasi pemerintah.
“Dia cium kaki saya dan minta maaf. Saya bingung harus bagaimana. Dia menangis,” kata Erniati kepada BenarNews.
Gede, suaminya, adalah kepala pramusaji di kelab malam Sari Club di Kuta yang luluh lantak dibom selain Restoran Paddy pada 12 Oktober 2002. Satu bom juga meledak di depan konsulat Amerika di Denpasar.
“Saya bilang saya sudah memaafkan Bapak. Mari jaga negara kita tercinta agar damai, tidak terjadi kejadian bom Bali lagi,” kata ibu dua anak ini, menambahkan Umar pada saat itu berjanji tidak akan pernah melakukan aksi teror lagi.
Agustus lalu, pemerintah mengatakan Umar dapat segera dibebaskan bersyarat karena telah menjalani dua pertiga dari hukumannya setelah menerima serangkaian remisi “berkelakuan baik”.
Umar, yang bernama asli Hisyam bin Ali Zein, ditangkap di Abbottabad, Pakistan pada Januari 2011, empat bulan sebelum Pasukan Khusus Amerika Serikat membunuh pemimpin al-Qaeda Osama bin Laden di daerah yang sama. Umar dideportasi ke Indonesia pada Agustus tahun itu.
Dalam persidangannya pada tahun 2012 dia mengakui terlibat dalam merakit bahan peledak yang digunakan dalam bom Bali tetapi membantah ikut merencanakan serangan itu. Pada 2012, ia dijatuhi hukuman 20 tahun penjara atas kejahatan yang biasanya dijatuhi hukuman mati itu.
Pihak berwenang Indonesia mengatakan Umar adalah kisah sukses deradikalisasi, tetapi berita tentang rencana pembebasannya itu membuat marah pemerintah Australia, yang kehilangan 88 warganya dalam aksi teror yang disebut pemerintah dan para analis kontraterorisme dilakukan oleh Jemaah Islamiyah, jaringan militan al-Qaeda di Asia Tenggara.
Sejak bom Bali, lebih dari 1.000 orang telah divonis dan dipenjara atas tuduhan terkait terorisme, menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Tiga militan Jemaah Islamiyah – Imam Samudra, Muhammad Ali Ghufron dan Amrozi bin Nurhasyim, yang dikenal juga sebagai Trio Pelaku Bom Bali, – dijatuhi hukuman mati pada tahun 2003. Ketiganya dieksekusi pada 2008.