Kebijakan Deviasi Diperlukan
Ketua Dewan Pembina Perludem, Didik Supriyanto, menguraikan bahwa secara sederhana, nilai satu kursi dibanding penduduk dapat diketahui dengan membagi jumlah penduduk dengan jumlah kursi. Namun, dalam konteks Indonesia, langkah itu tidak bisa diterapkan serta merta.
“Kalau kita itu terapkan ke seluruh provinsi, maka ada provinsi-provinsi yang hanya mendapat satu, atau dua kursi. Sementara ada provinsi yang bisa mendapat 90 bahkan 100 kursi,” ujarnya.
Karena itulah, dalam penerapan kesetaraan nilai penduduk, diperlukan deviasi.
“Dalam konteks kita itu ada dua deviasi. Satu, deviasi Jawa dan luar Jawa, yang kedua deviasi per provinsi, terutama di luar Jawa,” paparnya.
Deviasi Jawa dan luar Jawa bukan aturan baru dalam politik Indonesia. Dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, terdapat ketentuan dalam undang-undang yang menyebut pasangan harus mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara, dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Jika tidak ada deviasi, maka pemenang Pilpres sebenarnya hanya ditentukan oleh suara pemilih di Jawa saja, yang saat ini mencapai sekitar 55 persen. Didik mengaku pernah membuat konsep deviasi ini, misalnya dengan menetapkan bahwa dari total 580 kursi DPR, Jawa memperoleh jatah separuh atau 290, dan separuh sisanya untuk luar Jawa. Sementara saat ini, karena tanpa ketentuan deviasi, Jawa mendapat jatah 306 kursi dan seluruh wilayah luar Jawa 274 kursi.
Deviasi kedua, ujar Didik adalah deviasi jumlah minimal kursi untuk setiap provinsi. Kebijakan tersebut untuk mengakomodasi jumlah minimal anggota DPR di provinsi yang penduduknya terlalu sedikit. Misalnya dengan menetapkan bahwa minimal ada 3 kursi di setiap provinsi dalam Pemilu 2024.
“Sebetulnya rumusan itu untuk mengakomodasi bahwa Jawa dan luar Jawa itu harus diperlakukan berbeda,” tegas Didik./VOA