Keberadaan suku Tionghua juga dapat dibuktikan dengan adanya peluasan lahan, sehingga dapat menyatukan perkampungan, maka dibukalah perkampungan Pasir Menurun, Pasir Merah dan Air Gemuruh.
Kehadiran suku Tionghua pun dapat kita buktikan dengan adanya catatan sejarah bahwa di Sembulang ini pernah dipimpin oleh suku Tionghua bernama Ancak Long. Pemimpin di masa itu khusus suku Tionghua diberi gelar Tolo, Ancak Long anak dari Ang Kik Huak.
Ancak Long memiliki istri bernama Pua Moi Cia. Ancak long juga memiliki keturunan, salah satunya yang masih berada di sembulang yaitu A King.
Ancak Long juga dikenal sebagai pedagang ternama di lingkungan masyarakat. Ancak Long wafat sekitar tahun 1968, dan dimakamkan di Tanjungpinang, sedangkan istrinya sudah wafat pada tahun 1961 dan dimakamkan di Sembulang.
Dimasa kepemimpinan Ancak Long, masyarakat setempat merasa terlindungi, karena dimasa itu terkenal dengan seringnya kedatangan lanon atau perompak.
Ancak Long dapat mengatasi perompak tersebut, sehingga menjadi pekerja beliau. Bahkan banyak yang mendapatkan jodohnya di Sembulang dan dapat beradaptasi dengan masyarakat tempatan.
Namun sebelum Ancak Long memimpim Sembulang, sejarah juga membuktikan adanya pemimpin terdahulu yang bergelar Bathin. Bathin pertama di Sembulang diemban oleh Awang Merah, dikenal dengan Bathin Merah yang berkedudukan di Goba.
Goba menjadi pusat pemerintahan, dan ini dibuktikan dengan banyak makam-makam lama yang berada disana.
Untuk meningkatkan kehidupan dan mencerdaskan masyarakat di Goba juga diadakan sekolah. Sekolah dimasa itu dikenal dengan sebutan sekolah rakyat. Guru pertama yang menjadi pengajar adalah Mahmud.
Mahmud adalah perantau dari tanah jawa. Murid-murid yang datang menimba ilmu adalah anak-anak dari perkampungan yang berada di pesisir pantai Sembulang, semuanya di pusatkan di Goba.
Pasca perang dunia ke-2, Sembulang termasuk perkampungan yang ramai didatangi serdadu Jepang yang kalah perang. Sembulang juga menjadi basis tentara Jepang sementara menunggu penjemputan untuk kembali ke Jepang.
Dalam perjalanan waktu, sejarah mencatat ada 128 orang serdadu Jepang yang wafat di pulau Rempang, termasuk sembulang.
Dahulu anak cucu keturunan Jepang yang ingin berziarah ke makam nenek moyangnya, masuk kehutan-hutan di Sembulang.
Demi menjaga keamanan negara dan masyarakat setempat, maka disepakati untuk mendirikan tugu, sebagai simbol adanya serdadu Jepang yang wafat di Sembulang, maka dibangunlah tugu Jepang tersebut pada tanggal 23 Agustus 1981 oleh anak cucu serdadu Jepang yang selalu berziarah ke Sembulang.
Dimasa pendaratan serdadu Jepang, masyarakat Sembulang banyak yang menyelamatkan diri ke pulau-pulau terdekat. Setelah serdadu Jepang ditarik kembali ke Jepang barulah masyarakat yang membuka perkampungan ini kembali menempati tempat tinggal mereka.
Setelah wafatnya Ancak Long, kepemimpinan kampung di pegang oleh Amin Bujur. Amin Bujur menjadi Kepala Desa selama 32 tahun pada saat Kampung Sembulang masih tergabung di Tanjungpinang Kecamatan Bintan Selatan.
Pingback: Warga Melayu Rempang-Galang Hadang Tim Terpadu di Tanjung Kertang – SWARAKEPRI.COM
Pingback: Serap Aspirasi, Kepala BP Batam Temui Masyarakat Pulau Rempang – SWARAKEPRI.COM
Pingback: Ini Alasan Warga Tak Hadiri Sosialisasi Investasi Pulau Rempang – SWARAKEPRI.COM
Pingback: Minta Perlindungan Hukum ke Jokowi, Warga Pulau Rempang Kedepankan Dialog – SWARAKEPRI.COM