BATAM – Sebanyak 27 karyawan Rumah Sakit Camatha Sahidya (RSCS) Panbil, Batam dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja(PHK) oleh pihak Managemen.
Pimpinan FSP Farkes SPSI Kota Batam, Anwar Gultom mengatakan, puluhan pekerja itu dituduh managemen rumah sakit telah melakukan aksi mogok kerja, sehingga diberikan SP III dari menajemen yang saat itu didampingi dua orang kuasa hukumnya.
“Awal persoalan terjadi setelah 28 karyawan mendatangi kantor HRD RSCS menanyakan gaji mereka yang sudah 4 hari belum dibayarkan tanpa adanya informasi,” kata Gultom di Batam Center, Sabtu (8/2/2020) siang.
Kata dia, pada hari Selasa 4 Februari 2020 sekitar pukul 07.30 WIB pagi, para pekerja mendatangi kantor HRD guna menanyakan perihal upah mereka, namun karena kondisi kantor masih kosong mereka berinisiatif menunggu dilorong-lorong depan kantor.
“Sekitar pukul 08.00 WIB pihak manajemen baru datang, lalu setelah itu ditanyakanlah masalah keterlambatan ini, manajemen beralasan terdapat kesalahan sistem. Pekerja nanya kepastian tanggal kapan dibayarkan,” kata Gultom.
Lanjutnya saat itu Eko Safutro selaku Manajer operasional, langsung menghubungi pihak owner dan dikatakan jam 12 siang uang sudah ditransfer ke rekening masing-masing para pekerja.
“Mendengar itu, otomatis mereka kembali ke pekerjaannya masing-masing juga ada yang pulang ke rumah, karena kebetulan tidak semuanya bekerja, ada yang lagi mau ngantar surat sakit, ada juga baru lepas dinas malam,” jelasnya.
Namun baru selangkah mau balik kanan, tiba-tiba terdengar kegaduhan dilokasi RS itu, ternyata sudah hadir Jalfriman pegawai pengawas Dinas Ketenagakerjaan Kepri.
Saat itu entah apa tujuan kehadirannya, ia langsung menuduh ke-28 pekerja telah melakukan mogok kerja tidak sah.
“Tuduhan itu memancing situasi menjadi panas, terjadilah perdebatan sebentar namun tak lama bubar. Para pekerja heran dong, tujuannya menanyakan kenapa gaji terlambat, malah dituduh mogok kerja,” kata dia.
Setelah bubar, 28 pekerja tersebut dihubungi kembali oleh pihak manajemen dan diminta untuk berkumpul pada sore harinya di rumah sakit.
Di sana ternyata sudah menunggu 2 orang staf HRD bernama Ida dan Nita serta Ali Amran dan Ramses Siregar yang mengaku sebagai kuasa hukum Rumah Sakit.
“Para pekerja diberi SP III lengkap dengan surat PHK. Tentu mereka kaget, dan bertanya. Namun saat itu kuasa hukum bilang, mereka tidak berhak bertanya disini, kalau bertanya jumpa di pengadilan saja, Sampai di Mahkamah Tertinggi pun siap dilayani,” jelasnya.
Alhasil, surat SP III dan PHK sepihak itu ditolak mentah-mentah dan tidak ditandatangani oleh pekerja. Namun pihak RSCS tetap bersikeras melakukan pemutusan kontrak dengan dalih para pekerja telah melanggar aturan perusahaan.
Dari total 28 pekerja yang menanyakan soal gaji tersebut, satu orang selamat dari PHK. Sedangkan 27 sisanya tidak boleh lagi menginjak lokasi rumah sakit kecuali ada keperluan seperti sedang sakit atau ada keluarga yang sedang dirawat.
“Pekerja di PHK tanpa dijelaskan hak-haknya. Anehnya dalam surat itu tidak dijelaskan kapan mereka di PHK langsung sepihak saja. Ini jelas sudah dzolim, untuk ini kami akan menempuh jalur-jalur sesuai mekanisme yang ada,” katanya.
Sementara, itu managemen RSCS melalui kuasa hukumnya, Ali Amran dan Ramsen Siregar membenarkan adanya 27 karyawan yang resmi di-PHK sejak tanggal 4 Februari 2020 kemarin.
Alasannya karena mereka melakukan mogok kerja serta duduk-duduk di koridor pelayanan rumah sakit, sehingga pada hari itu mereka langsung di-PHK.
“Alasan kita karena mereka mogok kerja secara tidak sah, sementara pelayanan RSCS langsung menjadi terganggu,” jelas Ali Amran.
Kata dia, 28 orang karyawan itu melakukan mogok kerja secara tidak sah karena ada ketentuan dan dasar-dasar hukumnya.
“Jadi jika para karyawan tersebut ingin membawa persoalan ke jalur hukum sesuai mekanisme yang jelas, kami juga siap menempuh jalur yang diinginkan pekerja,” ujarnya.
(Elang)