Menurutnya, kapten pada saat itu kemungkinan sedang terdesak dana dan lain-lain, sehingga dia pun menandatangani tanpa unsur paksaan. “Inilah yang menjadi pegangan kami untuk menuntut hak-hak kami,” jelas Irwan.
Ditanya oleh wartawan, berapa banyak total kerugian PT VIS dan PT JMP dalam mengurusi keagenan kapal MT Arman 114 ini? “Totalnya semua sekitar $ 2 juta, tapi gugatan kami secara perdata di Pengadilan Negeri Batam itu ditaksir hampir $ 10 juta,” ujarnya.
Di tempat yang sama, Komisaris Utama PT JMP Togu Simanjuntak mengatakan, sejak awal perkara ini ditangani oleh pihak KLHK menurutnya sudah cacat hukum secara formil.
Mengapa demikian? Kata dia, pada saat melakukan penyidikan Ditjen Gakkum KLHK tidak mengikuti hasil putusan MK No. 18/PUU/XII/2014 perihal penegakkan hukum terpadu dijelaskan dalam pasal 95 ayat (1) UU PPLH menyatakan :
“Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Kepolisian, dan Kejaksaan di bawah koordinasi Menteri.”
Dalam hal ini, menurut Togu Simanjuntak, KLHK sudah melanggar putusan tersebut karena tidak melibatkan Menteri KLHK sendiri selaku koordinator.
“Kalian bisa cek, surat penyidikan KLHK itu yang tanda tangani siapa? Menteri kah atau hanya Direktur Penegakkan Hukum nya saja?,” kata dia.
Padahal, kata dia lagi, berdasarkan putusan MK ini dituliskan bahwa penegakan hukum terpadu yang sifatnya lintas instansi dan kewenangan ini sangat penting untuk menjamin efektifitas dan efisiensi penegakan hukum pidana lingkungan hidup karena dilakukan melalui koordinasi di antara
regulator dalam hal ini Menteri Lingkungan Hidup dan penyidik serta penuntut umum.
“Selain memudahkan koordinasi untuk menjamin kelancaran penyidikan tindak pidana lingkungan hidup, penegakan hukum terpadu juga dapat
membangun pemahaman yang sama pada semua instansi yang terlibat dalam menangani kasus lingkungan hidup,” kata Togu Simanjuntak membacakan isi putusan MK No 18/PUU/XII/2014.
Masih merujuk pada putusan MK No 18/PUU/XII/2014 perihal keberadaan kata “dapat” dalam pasal 95 ayat (1) UU PPLH menciptakan ketidakpastian hukum karena membuka kemungkinan “penegakan hukum terpadu” hanya menjadi sekedar slogan tanpa pelaksanaan karena kata “dapat” memberikan peluang kepada aparat penegak hukum, dalam hal ini Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Kepolisian, dan Kejaksaan, untuk “jalan sendiri-sendiri” dengan mengabaikan semangat UU PPLH untuk melakukan penegakkan hukum secara terpadu di bawah koordinasi Menteri Lingkungan Hidup.
Oleh karena itu, untuk memberikan kepastian hukum yang adil (sebagaimana dimaksud dalam pasal 28D ayat (1) UUD 1945) dengan menjamin
keberlangsungan penegakan hukum terpadu maka sudah seyogyanya kata “dapat” dalam pasal 95 ayat (1) UU PPLH dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Rizki Dewantoro Luncurkan Longetiv.id: Agensi Digital Marketing Baru untuk Transformasi Bisnis di Indonesia Rizki Dewantoro…
LRT Jabodebek berkomitmen untuk menyediakan layanan transportasi yang aman, nyaman, dan ramah lingkungan dengan mengoperasikan…
Bubur Ayam Jakarta 46 kini hadir di Surabaya, menghadirkan kelezatan bubur ayam hangat khas tradisional…
KAI Daop 8 Surabaya menghadirkan 4 perjalanan Kereta Api Tambahan selama periode 17 hingga 20…
Akun Instagram rajin posting tapi hasilnya minim? Mungkin masalahnya bukan di konten, tapi justru di…
LINGGA - Kabupaten Lingga punya harta karun yang belum sepenuhnya digali, sumber daya alam, terutama…
This website uses cookies.